Selasa, 03 Februari 2015

Tradisi dan Agama Hindu Bali

Dalam mengarungi samudra kehidupan ini, sebagai manusia, sebagai mahkluk yang beradab, kita memerlukan tuntunan, pedoman dan berbagai petunjuk – petunjuk bagaimana seharusnya kita hidup, baik sebagai individu ataupun mahkluk sosial, atau sebagai pribadi maupun masyarakat. Pedoman tingkah laku tersebut bisa bersumber dari tradisi atau budaya, agama maupun pemahaman spiritual pribadi seseorang.

Tradisi adalah sebuah kebiasaan turun temurun dalam sebuah kelompok masyarakat, yang mencakup etika dan norma yang dianggap baik dan benar. Karena tradisi hanya berlaku di sebuah tempat atau kelompok masyarakat, maka tentu akan banyak sekali kita jumpai tradisi yang berbeda - beda, bahkan terkadang bertentangan antara satu tempat dan tempat lainnya. Namun tradisi adalah sesuatu yang berkembang terus menerus atau senantiasa mengalami perubahan, menyesuaikan dengan keadaan, zaman dan tingkat pemahaman masyarakat.

Setelah tradisi, yang menjadi pedoman hidup bagi manusia adalah agama, sebab salah satu fungsi agama adalah memberikan berbagai ajaran, petunjuk dan berbagai pedoman untuk hidup sebagai manusia yang beradab. Manusia yang beradab adalah manusia yang memiliki aturan – aturan dalam berkehidupan, bermasyarakat, bernegara dan berketuhanan. Berbagai pedoman hidup itu terdapat dalam berbagai kitab suci agama di dunia. Kitab suci – suci itu mengajarkan bagaimana manusia seharusnya hidup didalam masyarakat, hal yang baik dan hal yang buruk. Dan adalah hak kita umtuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh. Walaupun semua agama – agama tersebut mempunyai satu kesamaan yaitu mengajarkan dan memberikan petunjuk dan pedoman bagaimana menjadi manusia yang baik dan benar. Kitab suci memberikan pengetahuan bagaimana manusia agar mampu berjalan dalam rel yang telah ditentukan oleh Sang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci berisikan ajaran, petunjuk dan pedoman, bagaimana agar manusia mampu mencapai kesempurnaan baik material dan spiritual. 

Beragama berarti memiliki keyakinan kepada Tuhan, sebab sebuah agama tanpa keyakinan terhadap Tuhan bukanlah agama. Dan setiap orang di dunia ini memiliki keyakinanya masing – masing pada agama dan Tuhan. Mungkin keyakinan satu orang dengan orang lain tidaklah sama, ada yang menganut Hindu, Budha, Islam, Kristen ataupun agama lainya. Ada yang menyebut Tuhan dengan sebutan Allah, Budha, Yesus, Siva, Krishna dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya semua sebutan dan keyakinan itu adalah sebuah perwujudan akan keyakinan terhadap kekuatan yang maha hebat, pencipta dan penguasa alam semesta. Dalam keterbatasan sebagai manusia, serta keyakinan kita terhadap Tuhan, tentu kita selalu bergantung pada kekuatan yang maha hebat yang mengatur alam semesta ini. Dalam upaya kita untuk dapat mencapai Beliau, manusia berusaha menjalin sebuah hubungan, sebuah komunikasi bathin dalam berbagai bentuk kegiatan ritual. Salah satu cara untuk menjalin hubungan dengan Tuhan adalah dengan sembahyang. Sembahyang berarti juga memuja atau berdoa, dimana setiap keyakinan yang berbeda tentu memiliki cara yang berbeda pula. Namun tujuan dari sembahyang itu pada dasarnya adalah sama, yaitu sebuiah komunikasi spiritual, serta perwujudan rasa bakti dari seorang penyembah pada yang disembah yaitu Tuhan itu sendiri. Bagaimana tata cara persembahyangan atau cara memuja Tuhan, dalam setiap keyakinan atau agama tentunyalah memiliki sebuah pedoman dan tata cara sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam buku – buku sucinya masing – masing. 

Semua agama di dunia memiliki kitab sucinya masing - masing sebagai dasar dan pedoman dalam menjalankan agama dan keyakinanya. Islam memiliki Al-Quran sebagai kitab sucinya, Kristen dengan Injilnya, Budha memiliki kitab suci Tripitaka dan kita Hindu memiliki Weda sebagai kitab suci. Didalam kitab suci dari agama – agama yang ada, pastilah mengajarkan kebaikan dan kebenaran, serta bagaimana menjadi manusia beradab dan berketuhanan. Walaupun mungkin dalam pelaksanaanya ada saja terdapat kekeliruan ataupun penyimpangan dari para penganutnya dalam memahami makna ataupun arti dari  apa yang sebenarnya tertuang ataupun tersirat dalam kitab suci. Pemahaman yang berbeda ini seringkali menimbulkan sebuah perpecahan dan pertikaian, terlebih lagi dalam sebuah agama dimana kitab sucinya mengandung banyak sekali doktrin – doktrin keagamaan. Dimana sering kali doktrin itu dipahami hanya secara arti luarnya saja tanpa mencoba memahami secara lebih mendalam apa yang terkandung ataupun yang tersirat dalam kitab suci sebuah agama. 

Kitab suci kita Weda sangatlah luas, lengkap dan sempurna karena merupakan sebuah kitab suci yang diturunkan langsung oleh Tuhan, melalui wahyu – wahyu suci yang diterima oleh para maharsi suci ribuan tahun yang lampau. Weda yang dikumpulkan dan ditulis kembali oleh maharsi Vyasa terdiri dari empat bagian yaitu Reg, Yajur, Sama dan Atharwa Weda. Weda adalah sebuah warisan suci dari sebuah peradaban suci dunia untuk seluruh umat manusia. Jika diibaratkan Weda adalah sebuah perpustakaan lengkap yang menyediakan segala buku – buku pengetahuan, baik filsafat duniawi ataupun rohani. Apapun pengetahuan yang kita ingin pelajari, sejatinya sudah ada di dalam Weda. Weda bagaikan lautan, maka tatkala manusia yang terbatas ini hanya mampu mengambil setetes airnya mereka mengira sudah mengetahui segalanya. Inilah salah satu penyebab timbulnya fanatisme sempit sebagian umat beragama. Atas nama agama yang mereka anut banyak sekali umat yang rela membunuh dan menyakiti sesama manusia, demi sebuah keyakinan dan pemahaman yang keliru

Didalam Weda tidak ada ayat yang bersifat sebagai sebuah doktrin,atau  sebuah ayat yang bersifat perintah harga mati. Tidak ada doktrin yang menyatakan bahwa mereka yang tidak meyakini Weda, atau yang meyakini agama dan kitab suci lain adalah orang berdosa.  Weda tidak pernah menyatakan bahwa kebenaran hanya milik kitab suci Hindu. Weda tidak pernah menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Hindu atau Weda. Weda sangat universal, bahkan hanya didalam Weda kita dapat menjumpai sloka yang menyatakan "Ekam Sat Vipraha Bahudha Vadanti", yang berarti "Tuhan itu hanya satu, namun para bijak mengenal atau menyebut-Nya dengan banyak nama". Bahwa Tuhan anda dan Tuhan saya, sejatinya adalah satu, walaupun mungkin kita menyebut-Nya dengan nama – nama yang berbeda.

Para pemeluk berbagai agama di dunia berusaha dan berlomba – lomba untuk mempelajari dan menelaah isi dari berbagai kitab sucinya itu. Dari mulai anak sampai orang tua berusaha mengerti dan memahami arti dan makna yang terkandung dalam bait, pasal dan bab – bab dalam kitab sucinya. Banyak sekali sekolah – sekolah yang didirikan sebagai pusat – pusat pembelajaran ajaran agama. Umat islam mempunyai pesantren, sebagai sekolah yang pengajaranya lebih banyak memberikan pelajaran keagamaan. Umat Kristiani, banyak sekali mempunyai sekolah – sekolah, dimana yayasan pendirinya adalah organisasi atau kelompok – kelompok penganut agama Kristiani. Tentu semua ini bertujuan untuk lebih memberikan pemahaman kepada anak – anak mereka tentang agama yang mereka anut.

Bagaimana dengan kita, orang Hindu, terutama yang ada di Bali, yang dikenal sebagai pulau para dewa atau pulau dewata ini. Harus diakui bahwa kita masih sangat tertinggal dari agama – agama lain dalam hal upaya meningkatkan pemahaman tentang agama kita pada anak – anak kita. Memang dewasa ini banyak bermunculan pesraman – pesraman dan ashram – ashram Hindu, namun kebanyakan masih hanya bersifat sebagai sebuah tempat atau wadah atau kelompok yang memiliki keyakinan akan sebuah ritual tertentu walaupun memang masih dalam koridor ajaran agama Hindu. Bukan sebuah tempat khusus untuk mempelajari Weda secara universal dan lebih mendalam. Dan memang mempelajari dan membaca kitab suci ataupun sastra suci lainya bukanlah suatu kebiasaan bagi kita di Bali, terutama bagi anak – anak dan usia remaja. Hal ini disebabkan oleh suatu kepercayaan yang terlanjur berkembang di masyarakat, bahwa adalah hal yang tabu bagi masyarakat umum, diluar kasta atau golongan yang dianggap atau merasa memiliki tingkat yang lebih tinggi dari orang lain, untuk mempelajari sastra – sastra suci. Adanya kepercayaan turun temurun bahwa adalah sebuah kesalahan dan dosa bagi mereka yang membaca dan mempelajari kitab suci Weda dan sastra suci lainnya apabila mereka bukanlah berasal dari kasta atau golongan tertentu dalam masyarakat. Adanya kepercayaan bahwa nanti saat kita mencapai usia tua atau pensiun, barulah hal – hal yang berhubungan dengan sastra suci itu harus dipelajari. Hal ini tentu salah kaprah, karena belajar dan memahami sastra suci agama kita adalah harus dimulai sejak usia sekolah, dimana kemampuan untuk belajar dan memahami suatu hal sedang dalam fase yang paling baik. Dimana untuk membentuk karakter manusia yang baik melalui pengajaran dan pemahaman nilai – nilai agama harusnyalah dimulai sejak usia dini.  

Hal inilah yang menyebabkan pembelajaran tentang sastra suci Weda dan sastra – sastra suci lainya di Bali menjadi sangat terbatas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Padahal mempelajari sastra – sastra suci Weda, baik dalam bentuk sloka, mantra dan purana atau cerita – cerita suci adalah sebuah hal yang mulia dan kewajiban bagi kita umat Hindu. Weda dan sastra – sastra suci lainya yang ditulis oleh para Maharsi suci, tentu bertujuan agar dapat dibaca, dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Bagaimana kita mampu mengamalkan segala ajaran suci kita yang tertuang dan tertulis dalam berbagai satra suci itu, jika untuk membaca dan mempelajarinya saja kita tidak berani. Kita takut terkena kutuk, terkena dosa, takut dicemooh oleh mereka, yang sebenarnya adalah orang bodoh, tanpa pengetahuan. Dalam Bhagavad Gita, 16.1-3 dinyatakan sebagai berikut

Abhayam sattva samsuddhir jnana yoga vyavastitih
Danam damas ca yajnas ca svadhyayas tapa arjavam

Ahimsa satyam akrodhas tyagah santir apaisunam
Daya bhutesv aloluptvam mardavam hrir acapalam

Tejah ksama dhrtih saucam adrobo nati manita
Bhavani sampadam daivim abhijatasya bharata

Kebebasan dari rasa takut, penyucian kehidupan, pengembangan pengetahuan rohani, kedermawanan, pengendalian diri, pelaksanaan yadnya, mempelajari Weda, pertapaan, kesederhanaan, tanpa kekerasan, jujur, bebas dari amarah, pelepasan ikatan, tenang, tidak mencari – cari kesalahan, kasih sayang terhadap semua mahkluk, bebas dari sifat lobha, sifat lembut, sifat malu, ketabahan hati yang mantap, kekuatan, pengampunan, ulet, kebersihan, tanpa rasa iri dan gila hormat, sifat – sifat ini dimiliki oleh orang – orang suci yang diberkati dengan sifat – sifat rohani, wahai putra bharata

Dari kutipan sloka diatas dapat kita simpulkan bahwa mempelajari Weda adalah salah satu kewajiban kita sebagai seorang yang beragama Hindu yang ingin memperoleh kemajuan rohani. Weda mengandung berbagai ajaran suci, yang memberikan penerangan dan pencerahan bagi semua manusia dalam mengarungi samudra kehidupan. Weda memberikan jalan suci untuk mampu mencapai kembali pada jati diri yang sejati. Memberikan jalan kebebasan dari segala keterikatan hidup duniawi. Memberikan jalan mencapai mokshartam jagadhita, kebahagian sejati, baik dunia maupun akhirat, material dan spiritual. Kitab yang demikian mulia, suci dan luar biasa ini, adalah milik kita, umat Hindu dan anugrah bagi segenap umat manusia.


Di Bali khususnya banyak sekali sastra – sastra suci yang dipakai pedoman dalam kehidupan sehari - hari, dalam ritual keagamaan serta dalam berbagai sendi kehidupan. Sastra – sastra tersebut ditulis oleh para Rsi, Mpu dan para suci lainya yang merupakan terjemahan dari berbagai sastra suci Weda, yang ditulis kembali ke dalam bahasa Jawa kuno, yang telah mengalami penyesuaian dengan adat dan budaya yang berlaku pada masyarakat Bali pada zaman itu. Hal ini tentu bertujuan agar lebih memudahkan masyarakat untuk menerima dan memahami berbagai ajaran Weda pada saat itu. Dengan mengalkulturasi dan mengasimilasi ajaran Weda dalam budaya setempat, maka akan lebih mudah terserap dan dipahami masyarakat.


Namun alkulturasi atau percampuran antara agama dan budaya ini juga mengakibatkan terjadinya kerancuan di dalam masyarakat tentang sebuah ritual upacara keagamaan yang mereka laksanakan. Apakah itu pelaksanaan sebuah ritual keagamaan atau hanya sebuah ritual budaya semata tanpa nilai spiritual. Sebagai contoh, sederhana adanya tabuh rah dalam setiap upacara keagamaan di sebuah Pura. Seperti kita ketahui bersama wujud pelaksanaan tabuh rah adalah sabung ayam, yang tak bisa lepas dari adanya perjudian dan penyiksaan binatang. Namun masyarakat kita di Bali menganggap hal itu adalah sebuah ritual wajib dalam pelaksanaan sebuah upacara keagamaan di Pura. Maka dapat kita saksikan dalam sebuah pura dimana saat upacara berlangsung, saat dimana para sulinggih menchantingkan mantra – mantra suci Weda, disaat yang sama itu pula sorak sorai riuh para penjudi di arena “ tabuh rah” berlangsung. 

Picture taken from Google

Sebuah pemandangan, sejujurnya membuat hati kami miris dan malu. Dalam hati kami bertanya, "apakah memang begini seharusnya kami menjalankan agama yang kami yakini ini?". "Apakah memang Dia yang diatas menyukai hal ini, apakah ini sesuai sastra agama?".

Padahal dalam hati semua orang tahu, bahwa didalam agama manapun, judi itu adalah hal yang dilarang. Jadi sebuah kontradiksi sekali pelaksanaan sebuah ritual tabuh rah itu. Namun masyarakat umum terus saja melaksanakanya. Disinilah perlunya kita untuk memilah – milah, mana yang murni ajaran agama, mana yang sekadar hanya sebuah pelaksanaan tradisi, tanpa nilai spiritual, atau bahkan menyimpang atau keliru.


Kemudian yang sering menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat adalah adanya budaya atau ritual kerauhan saat sedang berlangsungnya sebuah upacara keagamaan di sebuah Pura. Saat upacara berlangsung, ketika umat khusuk melantunkan doa – doa, tiba – tiba ada  umat yang bangkit kemudian berteriak – teriak, menangis, menari atau berbicara seolah – olah mereka ini dirasuki oleh para dewa. Mereka berbicara meminta ini – itu atau hal – hal yang mungkin tidak masuk akal. Dengan mimik seringkali seram atau terpejam yang kerauhan atau “kerasukan” akan meminta sesuatu kepada para pemangku Pura, misalkan minta disembelihkan ayam hitam, minta sesajian atau hal – hal lainya. Padahal secara logika saja apakah Tuhan atau para dewa yang maha suci, ingin disembelihkan ayam hitam, ingin menunujukan kekebalan-Nya atau marah – marah karena sesajen kurang. 
Picture taken from Google


Kenapa kita menempatkan Tuhan dan manifestasi-Nya sebagai para dewa begitu rendah. Maka perlu kita bertanya, siapa yang kita puja atau sembah, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atau para roh-roh gentanyangan. Sebab yang sering atau mungkin merasuki badan – badan manusia yang sedang dalam ketidak mantapan rohani atau pikiran yang melayang tanpa arah adalah para roh – roh, atau mahkluk halus. Jangan sampai berbagai omongan orang yang dianggap kerauhan atau kerasukan dewa, dijadikan landasan beragama. Mari kita melaksanakan agama kita berdasarkan sastra – sastra suci Weda atau sastra dresta. Mari kita tunjukan kepada generasi muda dan generasi penerus agama Hindu, bahwa Hindu adalah agama yang mulia, bukan agama mitos yang penuh mistik. Back to Weda adalah jalan terbaik mendidik generasi Hindu untuk menjadi Hindu yang lebih baik.

Jadi untuk menghapuskan berbagai keraguan, melenyapakan ketidaktahuan dan kebodohan kita tentang ajaran suci agama kita, adalah sebuah kewajiban kita untuk mulai mempelajari, mengajarkan dan mengamalkan sastra – sastra suci yang kita miliki. Weda bukan hanya untuk mereka yang merasa memiliki kasta lebih tinggi dari manusia lainnya. Weda untuk semua, yang berkeinginan mencapai pencerahan, penerangan, dan pencapaian serta kemajuan spiritual dan rohani. Weda diperuntukan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang abadi, serta mencapai Beliau, penguasa segala alam semesta dan isinya. Weda is gift to the humankind, weda adalah sebuah hadiah, anugrah bagi kehidupan manusia.



Sebelum segala keyakinan kita, utamanya umat Hindu di bali, tergerus dikarenakan berbagai perbedaan, kerancuan, dan penyimpangan  dalam pelaksanaan ritual keagamaan, sebelum semakin banyak umat kita yang lari ke keyakinan yang lain, adalah kewajiban semua umat Hindu untuk mempelajari, memahami dan melaksanakan ajaran Weda yang sebenarnya. 
Tradisi dan budaya yang merupakan warisan para leluhur yang bernilai adiluhung memang wajib kita pertahankan dan lestarikan. Namun tradisi yang menyimpang dari ajaran agama dan sastra suci sudah seharusnya kita perbaiki dan luruskan, agar kesalahan, kekeliruan dan penyimpangan tersebut kita tidak wariskan pula kepada anak cucu kita. 
Kirang langkung tiyang nunas genggrena sinampura
Om Shantih 

(Ganapatyananda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar