Selasa, 28 April 2015

Manusia Adalah Sempurna



Kesempurnaan Manusia Adalah Ketidaksempurnaannya

Ketidaksempurnaan ini adalah kesempurnaan itu.
(Ganapatyananda)


Kita-manusia sering mengatakan diri kita adalah mahkluk yang tak sempurna, yang tak pernah lepas dari kekeliruan, yang terbatas dan lain sebagainya, apakah memang demikian adanya?.



Senin, 27 April 2015

Tidak Ada Yang Lain Selain Tuhan

"Apakah engkau sepakat bahwa Tuhan itu satu adanya, apakah engkau sepakat bahwa Tuhan adalah pemilik semua ini dan apakah engkau sepakat bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa?"
.
Sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka yang begitu mengagung - agungkan nama dan perwujudan Tuhan-nya dan seakan berusaha merendahkan keyakinan dan Tuhan yang dipuja oleh orang lain.

Jika engkau sepakat, berarti engkau pasti juga sepakat bahwa semua nama adalah milik-Nya, semua wujud adalah milik-Nya.

Picture taken from Google
Tapi mengapa engkau meninggikan wujud yang INI dan merendahkan wujud yang ITU. Memuliakan nama yang INI dan menistakan nama yang ITU.

Milik siapakah Wujud yang INI, milik siapakah wujud yang ITU, milik siapa ?

Milik siapakah nama yang INI, milik siapakah nama yang ITU, milik siapa ?

Jika yang berwujud INI adalah Tuhan, siapakah yang tak berwujud ITU, siapa ?

Minggu, 26 April 2015

Paramatman dan Atman.



Sebuah pertanyaan di sebuah media sosial cukup menyita perhatian saya, hingga saya pun ingin ikut memberikan komentar dan pendapat,bunyi pertanyaannya seperti ini; 

"Jikalau benar Atman (roh manusia) adalah percikan dari dari Paramatman (Tuhan), seharusnya sifat manusia itu selalu baik, sebaik Tuhan. Lalu kenapa manusia zaman sekarang memiliki berbagai sifat buruk, berperang, iri hati, egois dan berbagai sifat buruk lainnya. Apakah Atman yang baik juga mengalami kemerosotan?".

Picture taken from Google
Saya ingin menganalogikan Paramatman dan Atman dengan aliran energi listrik. Bagaikan energi listrik yang mengalir dan menghidupkan berbagai peralatan elektronik, demikianpun halnya sang Paramatman, memberikan kehidupan kepada semua jenis makhluk di alam semesta. Untuk menyalakan atau menghidupkan berbagai peralatan listrik kita tinggal menghubungkannya dengan sebuah sumber listrik atau stop contact. Mau menyalakan TV, radio atau kipas angin, tinggal hubungkan dengan sumber listrik demikianpun untuk menyalakan lampu. 

Dengan energi listrik berbagai peralatan elektronik yang berbeda tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Lampu menjadi bercahaya terang, radio bisa bersuara, kipas angin bisa berputar dan lain sebagainya. Energi listrik yang mengalir dan menyalakan sebuah bola lampu adalah energi listrik yang sama yang mengalir dan menghidupkan sebuah setrika. Energi listrik dalam bola lampu menjadi cahaya, sedangkan energi listrik dalam setrika menjadi panas, namun ia adalah energi listrik yang sama. 

Saat belum terhubung dengan berbagai peralatan elektronik tersebut, bentuk dari energi listrik tidak berubah dan senantiasa sama. Baik di sumber ataupun dalam alirannya, energi listrik adalah energi yang sama, tidak berbeda, tidak berubah dan tidak tercemar. Energi listrik hanya akan berubah bentuk, ketika dihubungkan dan dipergunakan untuk menyalakan atau menghidupkan sebuah peralatan elektronik. Energi listrik akan berubah menjadi energi yang sesuai dengan peruntukan alat elektronik yang dihubungkan kepadanya. Energi listrik bisa berubah bentuk menjadi panas, suara, gerak maupun cahaya. Tapi bentuk energi listrik itu tetap sama ketika ia tidak dihubungkan dengan sebuah peralatan elektronik.

Demikianpun sang Atma, Ia bukanlah sesuatu yang berbeda dari sumbernya, Paramatma. Paramatma bagaikan air di samudra dan Atma adalah percikan - percikan kecil dari deburan ombaknya. Paramatma bagaikan energi listrik bebas, yang tak terhubung dengan sebuah peralatan elektronik. Sedangkan Atman bagaikan energi listrik yang telah dihubungkan untuk menghidupkan atau menyalakan sebuah peralatan elektronik yang kemudian berubah bentuk sesuai dengan fungsi alat elektronik tersebut. 

Sattwam rajas tamas iti gunāh prakrti-sambhavāh
Nibadhnanti mahā-bāho dehe dehinam avyayam

Alam material terdiri dari tiga sifat alam, kebaikan, nafsu dan kebodohan. Bila roh yang kekal berhubungan dengan alam material, maka ia diikat oleh sifat - sifat tersebut, wahai Arjuna yang berlengan perkasa

Paramatman adalah Roh Utama yang bebas, yang tak berhubungan dan tak terikat oleh alam material ataupun terkukung di dalam badan. Sedangkan Atman adalah Roh yang berhubungan dengan alam material sehingga diikat oleh ketiga sifat alam material tersebut. Atman adalah percikan terkecil dari Paramatman yang terkukung di dalam badan material ini. Namun Paramatman dan Atman adalah satu dan sama, tidak ada beda, baik sifat maupun kemurniannya.

Baik atau buruk kwalitas dari sebuah peralatan elektronik tidak dipengaruhi oleh aliran energi listrik. Demikianpun baik atau buruk kualitas sebuah barang elektronik tidak akan mempengaruhi atau mencemari energi listrik. Tapi tanpa energi listrik tidak satupun peralatan elektronik tersebut yang bisa berfungsi. Baik atau buruk, awet atau tidaknya kwalitas sebuah barang elektronik akan tergantung dari pabrikan dan sangat dipengaruhi oleh cara pemakaian dan perawatannya. 

Demikianpun halnya dengan sang Roh, sang Atman, meskipun Atman adalah yang memberi kehidupan kepada badan material ini, tapi baik atau buruk, kebajikan ataupun kejahatan yang menjadi sifat dan tindakan seseorang tidak dipengaruhi oleh sang Atman. Demikianpun sebaliknya, baik atau buruk, kebajikan ataupun kejahatan yang dilakukan seseorang tidak akan mempengaruhi atau mencemari sang Atman, sang Atman tetap murni dan suci seperti sifat sejati-Nya.

Baik atau buruk karakter seseorang dipengaruhi oleh karma, pendidikan, pergaulan serta lingkungan. Baik atau buruk karakter seseorang tidak dipengaruhi oleh Atman. Sifat Atman tetap murni, suci tak tercemar, tak merosot, seperti halnya Paramatman karena Paramatman dan Atman adalah satu. Oleh karena itulah sastra suci mengatakan bahwa "Brahman Atman Aikyam", Brahman(Paramatman/Tuhan) dan Atman adalah satu. Karena memang hanya ada satu sumber memberikan hidup bagi semua mahkluk yaitu Tuhan, sang Paramatman, sang Atman.

(Ganapatyananda)

Kamis, 23 April 2015

Tahapan Dalam Spiritualitas



Salah satu hal yang membuat manusia untuk berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan adalah keyakinan akan adanya kekuatan agung yang menciptakan, mengatur, memelihara serta yang akan melebur semesta beserta isinya ini. Disamping itu juga sebagai makhluk yang mempunyai keterbatasan, manusia merasa perlu untuk mencari suatu tempat atau kekuatan untuk berlindung dan bergantung, dan kekuatan itu adalah Tuhan.

Dari keyakinan ini dan dalam usahanya mendekatkan diri dengan Tuhan, mulai tumbuh benih - benih keingintahuan manusia tentang Tuhan dan kemahakuasaannya serta tentang sang diri sejati. Pertanyaan - pertanyaan inilah yang menumbuhkan benih - benih dalam diri seseorang untuk mulai melangkah di jalan spiritual. Dan dimulailah tahapan - tahapan spiritual yang dilakoni oleh manusia untuk mendapatkan jawaban dari berbagai pertanyaanya tersebut.

Orang tua yang memiliki anak yang sudah usia sekolah tentu akan mencarikan dan memasukan anaknya ke sebuah lembaga belajar atau sekolah. Demikianpun jika seseorang ingin belajar spiritual tentu ia harus mencari dan menemukan tempat atau guru spiritual yang menurutnya baik dan mumpuni. Jadi tahap awal seseorang yang mulai terjun dan melangkah dalam spiritualitas adalah berusaha mencari atau menemukan orang yang bisa membantu dan membimbing mereka. Entahkah itu seorang yang dianggap suci ataukah mereka yang memang adalah seorang praktisi spiritual ataukah ikut bergabung dalam sebuah kelompok belajar spiritual.

Tahapan spiritual seseorang hampir sama dengan tahapan tingkat pendidikan di sekolah pada umumnya. Mulai dari Taman Kanak - Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menegah Atas (SMA) dan Universitas atau sekolah tinggi.

Pada tahap awal perjalanan spiritual seseorang, ia akan lebih banyak berkecimpung dalam hal ritual, tata cara sembahyang dan persembahan yang sesuai dengan apa yang mereka ketahui dari turun temurun, dari buku ataupun yang diajarkan guru rohaninya. Bagaikan anak TK yang lebih banyak diajak bermain, bernyanyi dan kegiatan yang menyenangkan yang dilakukan secara  bersama - sama oleh gurunya. Namun mereka hanya melakukan segala kegiatan ritual, sembahyang dan mempersembahkan persembahan tanpa pernah berusaha memahami lebih dalam segala arti dan makna yang terkandung dalam semua kegiatan tersebut. Inilah kulit terluar dalam dunia spiritual, penuh ritual dengan berbagai bahasa simbol, cara sembahyang dan berbagai persembahan.

Ketika beranjak ke tahapan berikutnya, anggaplah tahapan Sekolah Dasar, mereka mulai belajar membaca dan menulis. Tahapan spiritual seseorang dalam tingkatan ini adalah fase dimana mulai tumbuh keinginan untuk mengetahui makna dan arti bahasa simbol dalam ritual, metode sembahyang serta persembahannya. Mereka mulai tertarik untuk membaca dan mempelajari sastra - sastra suci yang berkaitan dengan hal tersebut. Sehingga membaca dan mempelajari sastra suci  adalah hal yang paling getol mereka lakukan. Sedikit - sedkit mengutip ayat dan sloka sastra suci dan menjadikan penguasaannya dalam hal sastra suci sebagai sebuah kebanggaan. 

Namun pengetahuan dan pemahamannya hanya sebatas ini betul dan itu salah. Sama halnya ulangan umum tingkat SD, yang hanya perlu memilih betul (B) atau salah (S) dari pilihan jawaban yg telah disediakan. Dalam tahapan ini kecenderungan mereka adalah belajar mendiskriminasi antara yang benar dan yang salah, hanya itu. Namun semua harus by the book, sesuai dengan apa yang tercantum dalam buku, sastra suci atau pelajaran yang di ajarkan oleh guru mereka. 

Dalam tahapan inilah peran seorang guru spiritual sangatlah penting. Kesalahan dalam memilih guru rohani yang baik bisa menjadi sebuah hal yang fatal. Seseorang yang terlanjur dicekoki dengan berbagai doktrin sempit oleh guru yang tidak baik, bisa tumbuh menjadi seorang spiritualist yang fanatik.  Yang  cenderung sulit menerima kebenaran atau pendapat spiritual dari orang lain. Karena mereka cenderung terlalu kukuh, terhadap apa yang sedang mereka pelajari saja dan yang diajarkan oleh guru mereka. Baru sedikit yang mereka pelajari tapi mereka “merasa” telah mengetahui banyak hal. 

Namun mereka yang menemukan guru rohani yang baik, fase ini akan menjadi sebuah fondasi dalam kehidupan spiritual seseorang. Sebagian besar orang yang terjun dalam dunia spiritual pernah mengalami fase ego spiritual, namun bimbingan guru rohani yang baik akan membantu seorang murid untuk melewatinya. Mereka yang terus berusaha melangkah maju dan bersahabat dengan orang - orang yang baik dan orang - orang yang mampu mendukung kemajuan spiritualnya, akan mampu melewati fase ini dengan mudah. 

Kemudian tahapan berikutnya, anggaplah tahapan tingkat SMP atau spiritualitas tingkat menengah. Dalam sebuah ujian, siswa SMP diharapkan mampu menentukan dan memberikan jawaban yang benar dari pilihan jawaban yang disediakan, yaitu A-B-C-D. Lebih banyak pilihan tentu menjadi sedikit lebih sulit, namun tetap saja semua pilihan jawaban telah disediakan terlebih dahulu.  Sama halnya dengan seorang spiritualist dalam tahapan ini, mereka sudah mampu memilih dan menetukan apa yang terbaik di antara yang baik bagi kemajuan spiritualnya.

Dalam tahapan ini seorang spiritualist, sudah memiliki daya diskriminasi yang lebih baik, hingga mampu menentukan apa yang terbaik diantara yang baik demi kemajuan spiritualnya. Mereka sudah mulai memilih sadana yang terbaik dan cocok baginya. Dalam tahapan ini mereka sudah mulai melaksanakan sadana rohani, seperti japa dan meditasi serta berbagai sadana rohani lainya. Mereka mulai menghindari apa yang tidak baik atau yang bisa menghambat kemajuan rohaninya, baik dalam pergaulan maupun dalam hal makanan. Namun terkadang dalam tahapan ini, ada kecenderungan menganggap sadana atau praktek rohaninyalah yang terbaik, sehingga sering kali memandang sebelah mata sadana atau praktek rohani orang lain. Mereka pun belum mampu melihat kebenaran dalam berbagai keyakinan yang berbeda. Bagaikan memilih jawaban A-B-C-D, mereka hanya memilih satu dan menganggap yang lain adalah salah. Namun dalam tahapan berikutnya mereka akan mulai menyadari bahwasanya ada banyak jalan mencapai Tuhan.

Berikutnya adalah tingkat SMA, tingkat menengah atas, seorang spiritualist dalam tingkatan ini sudah mampu menemukan sendiri berbagai jawaban - jawaban yang menjadi pertanyaan - pertanyaan dalam perjalanan spirtualnya. Mereka menemukannya sendiri melalui berbagai pembelajaran yang ia terima dari guru rohaninya maupun dari buku ataupun sastra suci yang ia baca. Dalam tahapan ini ia betul - betul telah memiliki pengetahuan rohani yang mumpuni.

Bagaikan dalam sebuah ujian, jawaban yg diminta bukan lagi memilih benar atau salah, atau pilihan A-B-C-D dari jawaban yg telah disediakan. Tapi jawaban yg diminta adalah jawaban essay, dari pengetahuan dan pemahaman siswa itu sendiri. Sehingga para siswa SMA harus sangat tekun dalam kegiatan belajarnya. Demikanpun  seorang spiritualist dalam tahapan ini, ia benar - benar tekun dan tenggelam dalam sadana rohani dan usaha meningkatkan pengetahuan rohaninya dalam setiap waktu.

Seorang spiritualist yang berada dalam tingkatan ini, tingkat menengah atas, mereka telah memiliki pemahaman bahwa setiap langkah yang dilakukan seseorang dalam upayanya mendekatkan diri dengan Tuhan adalah suatu hal yang harus didukung dan dihargai. Tidak ada jalan yang salah bagi seseorang yang tengah berusaha menapak jalan spiritualitas, bagaimanapun jalan dan cara yang ia tempuh. Yang menjadi perhatian mereka hanyalah kualitas dari pelaksanaannya saja. Mereka yang berada dalam tahap atau tingkat ini sangat menghormati orang - orang yang tengah berusaha maju dalam praktek spiritualnya, sekecil apapun langkah mereka. Mereka betul - betul telah mempunyai kesadaran diri bahwa ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai Tuhan.

Tahapan selanjutnya adalah tingkat Universitas atau spiritualitas yang boleh dikatakan tingkat tinggi. Sebagai sebuah syarat kelulusan, seorang mahasiswa atau mahasiswi diwajibkan untuk menulis sebuah karya ilmiah atau skripsi, yaitu sebuah paparan ilmiah dari hasil sebuah penelitian. Skripsi ini dibuat berdasarkan praktek kerja lapangan dan penelitian langsung yang  mereka lakukan. Kemudian dari penelitian inilah mereka akan menuliskan skripsi yaitu sebuah karya tulis ilmiah berupa paparan hasil penelitian. Mahasiswa yang mampu menulis skripsi dianggap mampu memadukan pengetahuan dan keterampilannya dalam memahami, menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan masalah yang berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. 

Demikianpun seorang spiritualist yang berada dalam tahapan ini. Mereka telah menemukan dan mencapai kesadaran rohani, melalui penelitian dan penggalian langsung kedalam diri serta melalui berbagai pengalaman rohani. Mereka yg berada dalam tahapan ini adalah mereka yang telah mengalami kesadaran spiritual, mendapatkan pencerahan dan mengalami Tuhan secara pribadi. Bagaikan seorang pendaki gunung, mereka telah mencapai puncak gunung kesadaran. Dimana kesadarannya telah menyatu dengan kesadaran semesta.

Seseorang yang telah lulus Universitas atau sekolah tinggi, ambilah contoh seorang sarjana keguruan, maka ia pantas mengajar dalam sebuah sekolah, entah itu di SD, SMP atau SMA. Demikianpun mereka yang telah mencapai puncak kesadaran rohaninya, sangat pantas menjadi seorang Guru Spiritual. Seorang guru yang akan mampu membawa muridnya mencapai apa yang telah ia capai, yaitu kesadaran rohani, pencerahan dan mengalami Tuhan secara langsung.

Semua tahapan diatas akan dilalui oleh mereka yang terjun dalam dunia spiritual. Mungkin yang akan  membedakan hanyalah waktu tempuh yang diperlukan masing - masing individu. Ada yang cepat ada yang agak lambat, atau mungkin ada yang tidak naik kelas hingga butuh waktu yang lebih lama.  Sehingga dalam tahapan manapun seseorang berada, baik TK, SD, SMP, SMA maupun Universitas hendaknya senantiasa dihormati dan dihargai. 

Bagaikan anak tangga, kita tidak akan langsung masuk SD tanpa masuk TK terlebih dahulu. Kita tidak akan masuk SMP tanpa lulus SD terlebih dahulu dan begitu seterusnya. Pemahaman rohani setiap orang mungkin berbeda dan semua perbedaan tersebut harus dihormati dan dihargai. Jika memiliki pengetahuan dan pemahaman rohani yang lebih baik, saatnya berbagi ilmu dan pengalaman dengan yang lain. Jika merasa kurang mari belajar dari yang lebih, dengan pikiran yang terbuka dan kesiapan menerima pengetahuan dari orang lain. 

Mereka yang senantiasa belajar adalah orang yang cerdas karena hidup adalah belajar dan belajar itu hidup. Jangan pernah merasa mengetahui segala hal, karena keterbatasan manusia, tidak ada manusia yang pintar dalam segala hal. Mari saling berbagi dan mengisi diri dengan pengetahuan, niscaya kita akan sampai pada tujuan dengan lebih cepat, aman dan selamat. Om Gam Ganapataye Namah.
...........................................................................
 

(Ganapatyananda)

Minggu, 19 April 2015

Tuhan Ada Berapa Sih?.



Dengan penuh semangat ia menjelaskan berbagai hal tentang keyakinan spiritual yang dianutnya. Tak lupa ia mengutip sloka - sloka dari sastra suci Bhagawad Gita dalam versi kelompoknya dan berbagai sastra suci lainnya untuk memperkuat berbagai dalil - dalil dalam ajaran keyakinannya. Dengan seksama pula saya mendengarkannya, walaupun mungkin apa yang ia katakan dan pahami berbeda dari apa yang saya pahami dan yakini. Itu tak menjadi soal bagi saya karena saya memang senang mendengarkan berbagai pengetahuan spiritual. Mendengarkan bagi saya memberikan banyak pengetahuan baru, daripada berbicara, apalagi berbicara sesuatu hal yang tidak penting hanya membuang - buang energi. 
Kemulan

Terus terang saya kagum atas kemampuan dan penguasaannya, terutama hapalannya terhadap sloka - sloka dalam sastra suci terutama Bhagawad Gita. Tampaknya ia hapal betul sampai titik - koma dan terjemahannya. Itu menunjukan bahwa ia memang tengah menyibukan diri dalam usahanya meningkatkan kualitas spiritualnya, dengan mempelajari  sastra suci, semoga saja perkiraan saya tidak salah. Dan saya sangat menghormati mereka - mereka yang tengah berusaha melangkah maju dalam kerohanian.

Tersirat ada kebanggaan karena mungkin merasa sebagai yang “terberkati” karena telah tergabung dalam sebuah kelompok spiritual dalam sebuah garis perguruan yang menurutnya adalah sebuah garis perguruan dari Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Saya katakan sebuah kelompok spiritual atau sebuah garis perguruan spiritual karena saya tak ingin menyebutnya sebagai sebuah sekte. 

Dalam banyak hal, sebenarnya saya melihat, merasa serta meyakini pula bahwa ajaran yang disampaikan melalui garis perguruan mereka memang benar dan akan memberikan manfaat kebaikan bagi manusia. Ada banyak kesamaan yang saya temukan dalam obrolan kami. Namun di sisi lain ada beberapa hal yang mungkin tidak dapat saya terima, yang menurut saya hal tersebut sudah jauh menyimpang dari apa yang saya yakini. Ia memang mampu memberikan berbagai argumentasi dan dalil yang disertai kutipan dari sastra suci untuk menunjang argumentasinya, tapi bagi saya argumentasi dan dalil - dalil tersebut terkadang tidak lebih sebagai sebuah upaya dalam mencari “pembenaran”.  

Bagi saya apapun keyakinan seseorang, apabila ia betul - betul yakin dan percaya, ia tidak memerlukan berbagai dalil - dalil untuk memperkuat keyakinan dan kepercayaanya. Meskipun dalil - dalil tersebut dikutip dari berbagai ayat atau sloka dalam sastra suci. Mereka yang merasa memiliki keyakinan dan kepercayaan penuh terhadap ajaran dari keyakinannya tetapi senantiasa memerlukan dalil - dalil dan kutipan dari sloka - sloka dalam ayat suci untuk memperkuat keyakinannya sejatinya seorang yang tengah ragu atas keyakinannya sendiri. Mereka men-Tuhan-kan kitab suci dan mengganggap dapat mengetahui dan menjelaskan Tuhan hanya dari sekadar beberapa sastra suci yang mereka baca, luar biasa hebat...!!!

Hal yang paling membuat saya tidak setuju atau tidak mampu menerima ajaran yang mereka anggap sebagai kebenaran adalah bahwasanya hanya melalui kelompok dan garis perguruan merekalah seseorang akan memperoleh rahmat dan pertolongan Tuhan.  Bagi saya ini hanyalah sekadar sebuah  doktrin basi untuk menarik pengikut. Ia menganggap Tuhan hanya milik kelompoknya dan mereka yang berada di luar kelompoknya hanya melakukan sebuah pencarian dan pelaksanaan kegiatan spiritual yang sia - sia. Suatu hal yang menurut saya betul - betul tak masuk akal, non sense! Ia dan kelompoknya ingin memiliki dan memonopoli Tuhan dan surga, wow...hebat sekali.

Tentu tidak salah apabila dalam sebuah keyakinan menganggap Tuhan yang mereka puja adalah Tuhan yang tertinggi, atau bahkan menganggap bahwa perwujudan Tuhan yang dipuja adalah perwujudan Tuhan yang asli. Itu adalah hak mereka, hak pribadi mereka, karena hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang sangat pribadi. Hubungan anda dengan Tuhan, hubungan saya dengan Tuhan, is private

Namun tatkala telah merasa memuja Tuhan yang satu itu, yang tertinggi itu, tapi kemudian menomor duakan atau merendahkan perwujudan Tuhan yang dipuja orang lain, itu adalah sebuah kebodohan. Mereka mengatakan Tuhan itu satu adanya, namun di saat yang sama mereka mengatakan Tuhan atau perwujudan-Nya yang dipuja orang lain adalah yang “nomor dua” atau yang lebih rendah, bagaimana bisa?. Memangnya Tuhan itu ada berapa sih, katanya ada satu, kemudian kenapa ada yang nomor dua, tiga, atau yang lebih tinggi dan yang lebih rendah?. Nah lho.........!!!. 

Itulah yang saya katakan sebuah kebodohan, kebodohan dalam keakuan. Jika memang Tuhan itu satu adanya, itu artinya yang nomor dua, tiga atau yang lebih tinggi atu lebih rendah itu, tidak lain dan tidak bukan adalah yang satu itu, yang tertinggi itu, hanya satu itu. Jangan karena fanatisme sempit membuat kita jadi bodoh, tidak mampu melihat dan mendengar kebenaran yang disampaikan oleh orang diluar kelompok atau keyakinan kita. Ketahuilah bahwa terkadang kebenaran disampaikan oleh orang  yang kita anggap tersesat atau bahkan sesat. 

Ritual, upacara dan upakara boleh berbeda namun substansi dari semua itu saya yakin sama, yaitu perwujudan rasa bakti, rasa syukur dan rasa cinta kita terhadap Tuhan. Jangan terpaku dengan ritual, upacara maupun upakaranya. Jangan mencari perbedaan didalamnya untuk kemudian dijadikan bahan perdebatan, yang ini salah, yang itu salah, hmmm...terus yang benar yang mana?.

Cara setiap orang mengungkapkan rasa bakti, rasa syukur maupun rasa cintanya pada Tuhan tentu berbeda. Ada yang sebatas dengan cakupan tangan, ada yang dengan bunga, ada yang tekun dalam sadana rohani, ada yang mewujudkannya dalam sebuah pelayanan kepada manusia lainya, kepada alam maupun lingkungan. Hormati semua karena semua dilandasi oleh rasa bakti, rasa syukur, dan rasa cinta kasih terhadap Tuhan.

Jangan berupaya untuk mengganti sebuah tradisi adi luhung dalam masyarakat, dengan tradisi baru yang anda peroleh atau pelajari di tempat lain, walaupun mungkin bagi anda itu lebih mulia. Setiap daerah memiliki tradisi, adat dan budayanya sendiri jangan berusaha menghapusnya. Karena bisa jadi anda yang malah terhapus dari dalam masyarakat. Masyarakat yang kehilangan tradisi, adat dan budayanya adalah masyarakat yang kehilangan identitasnya. Tradisi dan budaya kita menunjukan jati diri kita, menunjukan bangsa dan tanah air kita. 

Kita mesti terbuka terhadap berbagai pengetahuan dan perkembangannya, terutama pengetahuan spiritual. Belajar itu hidup dan hidup adalah belajar, saat kita berhenti belajar adalah saat ajal menjemput. Namun terbuka terhadap berbagai ajaran maupun pengetahuan spiritual bukan berarti kita menerima dan menelan mentah - mentah segala ajaran yang masuk. Semua harus ada filternya, ada saringannya. Menerima pengetahuan spiritual bukan berarti juga harus menerima berbagai tradisi yang dibawa atau melekat padanya. 

Dalam tradisi kita, orang Bali, saat datang ketempat suci atau Pura hendaknya memakai pakaian adat Bali. Perempuan memakai kain atau kamen dan kebaya sedangkan yang pria memakai kain kamen dan destar. Tradisi dan budaya ini hendaknya jangan digantikan dengan budaya yang datang dari luar, misalkan ketempat suci atau Pura memakai pakaian sari ala India, atau memakai jubah ala pertapa India. Meskipun pakaian bukanlah hal yang terpenting dalam berkeyakinan dan spiritualitas, namun pakaian adat tersebut mampu menunjukan jati diri kita sebagai orang Bali.

Tergabung dalam sebuah kelompok atau perguruan spiritual tentu adalah hal yang sangat baik. Memberikan kesempatan kita untuk bisa belajar lebih banyak hal tentang agama, spiritualitas dan Tuhan. Juga memberikan kesempatan berkumpul dengan mereka yang mempunyai keinginan dan minat yang sama dalam hal spiritual, yang bisa membantu perkembangan dan kemajuan rohani kita. 

Namun hal ini jangan dilakukan karena latah, karena banyak yang ikut saya juga mesti ikut, jangan karena itu. Bergabunglah atau berkumpulah dengan mereka yang mendukung kemajuan rohani kita dan yang mampu menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Jangan bergabung dengan kelompok spiritual yang hanya menjadikan anda semakin jauh dari keluarga, masyarakat, dan menjadikan anda orang yang meninggalkan berbagai tradisi luhur yang diwariskan oleh para leluhur kita. 

Jika ada perkumpulan atau kelompok - kelompok spiritual yang mengatakan bahwa hanya Tuhan merekalah yang benar dan Tuhan anda keliru, tinggalkan mereka. Jika ada yang mengatakan bahwa hanya ritual mereka yang benar dan ritual anda keliru, tinggalkan mereka. Jika ada yang mengatakan bahwa hanya tradisi, adat dan budaya yang kita miliki keliru dan harus kita tinggalkan, tinggalkan kelompok, perkumpulan atau perguruan seperti itu. Kita harus bangga atas tradisi, adat dan budaya yang kita miliki. Dan semua itu sudah dilandasi dengan berbagai nilai - nilai kemanusiaan yang luhur dan mulia. Meskipun mungkin ada beberapa hal yang harus mendapatkan penyesuaian dengan perkembangan zaman. 

Daripada sibuk berusaha untuk meyakinkan orang lain atas apa yang anda yakini akan lebih baik apabila anda berusaha meyakinkan diri anda sendiri dan capailah apa yang menjadi tujuan rohani anda. Jangan berusaha meyakinkan orang lain atas apa yang anda sendiripun tak yakini sepenuhnya. Jangan hanya sekadar pintar mengahapal dan mengutip sloka dan ayat suci, karena sastra atau kitab suci bukan sekadar untuk dihapal dan dikutip, tapi untuk dipahami dan dilaksanakan. Seribu hapalan dan kutipan dari kitab suci tidak bernilai dibandingkan satu saja pelaksanaannya. Hapalan - hapalan - hapalan tidak berarti sama sekali dibandingkan kerja - kerja - kerja.

(Ganapatyananda)


Senin, 13 April 2015

Spiritualitas Rasa Buah Durian



Sewaktu masih duduk di bangku kuliah di sebuah universitas pariwisata di Bali, saya pernah mengikuti sebuah on the job training program atau sebuah praktek kerja lapangan dengan ditempatkan di sebuah perusahaan biro perjalanan wisata di Denpasar. Hari itu saya berkesempatan diajak untuk ikut dalam sebuah tour oleh Bapak Wayan, sang tour guide untuk menemani dan mengantarkan pasangan wisatawan dari Australia, sebutlah namanya Jack dan Joana, untuk berkeliling di pulau dewata Bali. Rencana perjalanannya adalah untuk mengunjungi  beberapa destinansi wisata di daerah bagian barat.  Mulai dari Alas Kedaton, Kebun Raya Bedugul dan Danau Beratan termasuk pura Ulun Danu Beratan. 

Di dalam mobil, Bapak Wayan begitu bersemangat menceritakan dan menjelaskan berbagai hal yang sekiranya menarik untuk diceritakan kepada tamu tersebut, dari adat, tradisi dan budaya sampai berbagai hal tentang kehidupan masyarakat Bali. Dengan bahasa Inggris yang fasih dan sesekali diselingi humor dan joke - joke ringan perjalanan seakan tak terasa. Ketika itu saya duduk di kursi paling belakang, sambil memperhatikan dan menulis berbagai hal baru yang tidak diajarkan di kampus. 

Namun yang menarik untuk diceritakan adalah ketika perjalanan kembali menuju Denpasar. Di pinggir kanan - kiri jalan raya Bedugul tersebut banyak sekali terdapat lapak pedagang buah. Berbagai buah lokal, dari buah rambutan, jeruk, durian dan lain sebagainya. Saat melewati jejeran para pedagang buah pinggir jalan tersebut, Bapak Wayan pun menceritakan jenis - jenis buah lokal, nama dan menggambarkan bagiamana rasanya. Bapak Wayan pun menceritakan tentang buah Durian. Ia menggambarkan bagaimana isi dan rasa dari buah Durian tersebut. Mungkin karena Bapak Wayan ini sangat menyukai Durian hingga ia begitu bersemangat menceritakannya. Ia pun mengatakan bahwa buah terlesat di dunia adalah buah Durian. 
Picture taken from Google

Mendengar penjelasan Bapak Wayan tentang buah Durian ini, Jack dan Joana pun ingin mencoba untuk menikmati kelesatannya. Maka kamipun berhenti di sebuah lapak pedagang buah di pinggir jalan. Buah yang dijajakan memang beraneka ragam dan bagi wisatawan harganya tergolong sangat murah. Jack dan Joana langsung meminta buah durian yang paling besar. Mereka begitu bersemangat untuk mencoba dan mencicipi buah yang begitu digembor - gemborkan oleh Bapak Wayan.

Dibantu oleh Bapak Wayan, buah durian tersebut langsung dibuka ditempat itu, untuk langsung bisa dinikmati. Begitu dibuka, aroma khas dari durian pun keluar,bagi Bapak Wayan aroma itu sungguh nikmat. Namun bagi Jack dan Joana, terlihat dari mimik wajahnya mungkin aromanya agak aneh, namun cerita kenikmatan rasa buah Durian ini membuat mereka merasa harus mencobanya. Sementara sya dan Bapak Wayan langsung menyantap Durian yang telah dibuka tersebut. 

“Wow rasanya manis dan betul - betul enak !”, kata Bapak Wayan.

Saya pun mengangguk tanda menyetujuinya, Bapak wayan langsung menawarkan kepada Jack dan Joana untuk mencoba dan menikmatinya, sambil mengacungkan jempol tanda “mantap”. Melihat kami begitu meikmati buah Durian ini, Jack dan Joana pun mengambil satu biji buah Durian tersebut kemudian mulai mencicipinya.

“Ueeekkkk...ueeekkk...uekkk...!”, Jack dan Joana langsung memuntahkan buah Durian tersebut. 

“Huh...rasanya buruk, buruk sekali, kami tidak bisa makan buah seperti ini”, teriak mereka, sambil tertawa.

“Woow...kami benar - benar tidak menyukainya, baunya...ohhh..menjijikan, tidak - tidak kami tidak akan buah ini”, kata Jack.

Saya pun tidak dapat menahan tawa, buah yang begitu enak bagi kami, dan juga mungkin buat anda penggemar buah Durian, ternyata tidak demikian juga bagi Jack dan Joanat. Mereka sampai muntah dan harus berkumur dengar air untuk menghilangkan rasa dan bau dari durian tersebut di mulutnya. 

Sebuah pengalaman lucu yang terus saya ingat, bahkan jika mengingatnya kembali membuat saya senyum - senyum sendiri. Mengenang bagaiamana Bapak Wayan yang begitu bersemangat menjelaskan rasa buah durian, dari sudut pandang dan seleranya sendiri dan kenyataan bahwa Jack dan Joana ternyata tidak suka, bahkan jijik terhadap bau dan rasa durian. 

Hal inipun sebenarnya yang banyak terjadi dalam dunia spiritual dewasa ini. Banyak sekali muncul berbagai perkumpulan spiritual dan menerbitkan berbagai buku - buku spiritual, dengan berbagai pemahamannya, filsafat dan sudut pandangnya masing - masing. Semua buku spiritual yang terbit tersebut tentu ditulis oleh sang pengarang berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan sudut pandang pribadi mereka. Bagi para peminat kehidupan spiritual, tentu ini merupakan hal yang baik. Banyak buku berarti banyak hal yang bisa dipelajari.

Namun yang harus menjadi perhatian adalah ketika seseorang begitu fanatik dalam meyakini dan mempercayai apa yang ia baca, meskipun ia tak pernah mengalaminya sendiri. Seperti halnya menceritakan dengan penuh keyakinan betapa nikmatnya buah Durian, padahal ia belum pernah mencicipinya sendiri. Rasa Durian yang ia ceritakan hanya seperti apa yang tertulis dalam buku yang ia baca. Ketika buku yang ia miliki mengatakan bahwa rasa Durian begitu enak, maka dengan penuh keyakinan, ia pun mengatakan bahwa Durian itu begitu nikmat, padahal ia sendiri belum pernah mencicipinya. Dan tatkala ada yang mengatakan bahwa rasa durian begitu buruk, bau dan membuat mual, mereka menjadi marah, karena tidak sesuai dengan apa yangn tertulis dalam buku yang mereka miliki. Fanatisme ini akibat dari sempitnya pandangan seseorang atas apa yang ia yakini. Sehingga mereka menjadi sangat sulit menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang diluar kelompoknya. Padahal sejatinya mereka pun belum pernah mengalami kebenaran seperti apa yang mereka yakini.

Banyak sekali yang suka berargumen bahkan berdebat tentang sesuatu yang mereka sendiripun sebenarnya tak pahami. Demi membenarkan argumen mereka, mereka mengutip berbagai ayat, berbagai sloka, berbagai buku yang mereka pernah baca. Bahkan sepertinya mereka hafal sampai titik koma dari berbagai kutipan tersebut. Namun sayangnya, pengetahuan mereka hanya sebatas dari buku yang mereka pernah baca. Tak satupun pengalaman spiritual yang tertuang dalam berbagai buku tersebut pernah mereka alami. Dari sekadar beberapa buku yang mereka miliki, mereka berpikir dan merasa sudah bisa mengkonsepkan Tuhan. Dari beberapa buku, yang mereka anggap buku suci, mereka merasa sudah tahu bentuk dan wujud Tuhan. Mereka tidak bisa menerima pengalaman spiritual orang lain, diluar apa yang tertulis dalam buku mereka. Mereka menganggap bahwa buku mereka adalah yang paling benar, karena ditulis oleh seorang yang mereka anggap Guru kerohanian dan satu - satunya Guru yang memiliki hak “paten” yang diberikan oleh Tuhan untuk menuliskan ajaran-Nya.

Tidak ada yang salah mempelajari spiritualitas dan segala kaitanya tentang hidup dan kehidupan, tentang Tuhan, alam dan manusia, melalui buku. Namun dalam spiritualitas, pelaksanaanya tidak akan memberikan pengalaman rohani yang sama kepada semua orang. Semua orang akan mengalami atau mendapatkan pengalaman spiritual yang berbeda, hal ini dipengaruhi oleh banyak hal. Apabila seorang peminat spiritual mempelajari sebuah konsep spiritual dari sebuah atau beberapa buku dan literatur, kemudian hanya berbekal pengetahuan yang ia dapatkan dari buku - buku tersebut ia mulai menolak semua pemahaman orang lain, sebenarnya ia bukan melangkah maju, tapi sebaliknya melangkah mundur, menjauh dari tujuannya yang utama.

Jika anda hanya mendengar cerita atau sekadar pernah membaca di sebuah buku tentang betapa nikmatnya buah durian, sebaiknya anda mencoba dulu, biar tahu bagaimana sebenarnya rasa buah durian tersebut. Jika anda belum pernah mencoba rasanya, namun sudah begitu yakin bahwa rasanya pasti enak, seperti apa yang anda baca di buku, ada kemungkinan anda keliru. Jika anda sudah pernah mencobanya, anda akan tahu dan mampu menceritakan kepada orang lain, bagaimana rasa durian dari penilaian anda. Jika menurut anda enak, berarti sesuai dengan selera anda, jika menurut anda tidak enak, berarti tidak sesuai dengan selera anda. Masing - masing punya penilaiannya sendiri, dan semua penilaian tersebut tidak perlu diperdebatkan. Walaupun banyak yang mengatakan enak, anda tidak harus ikut mengatakan enak, katakan sesuai apa yang anda rasakan. 

Demikianpun dalam hal kehidupan rohani atau spiritual, masing - masing orang akan memperoleh pengalamannya sendiri. Jangan terpaku dengan pengalaman atau cerita orang lain, semua harus disadari dan dialami sendiri dan setiap pribadi bisa memperoleh pengalaman rohani yang berbeda. Semua perdebatan hanya menunjukan betapa rendahnya pemahaman seseorang terhadap kerohanian yang ia tekuni.

Jika anda merasa bahwa spiritualitas yang anda jalani membawa anda ke arah yang benar atau menjadikan anda seorang pribadi yang lebih baik, rendah hati, terbuka, senantiasa belajar, jauh dari rasa paling benar, lanjutkan. Tapi jika apa yang anda anggap spiritual tapi menjadikan anda tertutup, sulit menerima pendapat orang lain, angkuh, fanatik dan senantiasa melihat apa yang dilakukan orang lain sebagai suatu hal yang salah, ada baiknya anda introspeksi diri.

Spiritualitas atau kehidupan kerohanian harus menjadikan kita menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang bertanggung jawab, baik terhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Spiritualitas harus memberikan kedamaian bagi anda dan orang lain. Spiritualitas tidak menolak perbedaan tapi merangkul semua perbedaan. Merangkul dan menerima semua pemahaman tentang kebenaran, karena sejatinya kebenaran itu adalah satu adanya walaupun oleh para bijak dijelaskan dan dipahami dengan berbagai bahasa dan nama, “Ekam Sat, Viprah Bahudha Vadanti”.
.............................................................

(Ganapatyananda)