Minggu, 19 April 2015

Tuhan Ada Berapa Sih?.



Dengan penuh semangat ia menjelaskan berbagai hal tentang keyakinan spiritual yang dianutnya. Tak lupa ia mengutip sloka - sloka dari sastra suci Bhagawad Gita dalam versi kelompoknya dan berbagai sastra suci lainnya untuk memperkuat berbagai dalil - dalil dalam ajaran keyakinannya. Dengan seksama pula saya mendengarkannya, walaupun mungkin apa yang ia katakan dan pahami berbeda dari apa yang saya pahami dan yakini. Itu tak menjadi soal bagi saya karena saya memang senang mendengarkan berbagai pengetahuan spiritual. Mendengarkan bagi saya memberikan banyak pengetahuan baru, daripada berbicara, apalagi berbicara sesuatu hal yang tidak penting hanya membuang - buang energi. 
Kemulan

Terus terang saya kagum atas kemampuan dan penguasaannya, terutama hapalannya terhadap sloka - sloka dalam sastra suci terutama Bhagawad Gita. Tampaknya ia hapal betul sampai titik - koma dan terjemahannya. Itu menunjukan bahwa ia memang tengah menyibukan diri dalam usahanya meningkatkan kualitas spiritualnya, dengan mempelajari  sastra suci, semoga saja perkiraan saya tidak salah. Dan saya sangat menghormati mereka - mereka yang tengah berusaha melangkah maju dalam kerohanian.

Tersirat ada kebanggaan karena mungkin merasa sebagai yang “terberkati” karena telah tergabung dalam sebuah kelompok spiritual dalam sebuah garis perguruan yang menurutnya adalah sebuah garis perguruan dari Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Saya katakan sebuah kelompok spiritual atau sebuah garis perguruan spiritual karena saya tak ingin menyebutnya sebagai sebuah sekte. 

Dalam banyak hal, sebenarnya saya melihat, merasa serta meyakini pula bahwa ajaran yang disampaikan melalui garis perguruan mereka memang benar dan akan memberikan manfaat kebaikan bagi manusia. Ada banyak kesamaan yang saya temukan dalam obrolan kami. Namun di sisi lain ada beberapa hal yang mungkin tidak dapat saya terima, yang menurut saya hal tersebut sudah jauh menyimpang dari apa yang saya yakini. Ia memang mampu memberikan berbagai argumentasi dan dalil yang disertai kutipan dari sastra suci untuk menunjang argumentasinya, tapi bagi saya argumentasi dan dalil - dalil tersebut terkadang tidak lebih sebagai sebuah upaya dalam mencari “pembenaran”.  

Bagi saya apapun keyakinan seseorang, apabila ia betul - betul yakin dan percaya, ia tidak memerlukan berbagai dalil - dalil untuk memperkuat keyakinan dan kepercayaanya. Meskipun dalil - dalil tersebut dikutip dari berbagai ayat atau sloka dalam sastra suci. Mereka yang merasa memiliki keyakinan dan kepercayaan penuh terhadap ajaran dari keyakinannya tetapi senantiasa memerlukan dalil - dalil dan kutipan dari sloka - sloka dalam ayat suci untuk memperkuat keyakinannya sejatinya seorang yang tengah ragu atas keyakinannya sendiri. Mereka men-Tuhan-kan kitab suci dan mengganggap dapat mengetahui dan menjelaskan Tuhan hanya dari sekadar beberapa sastra suci yang mereka baca, luar biasa hebat...!!!

Hal yang paling membuat saya tidak setuju atau tidak mampu menerima ajaran yang mereka anggap sebagai kebenaran adalah bahwasanya hanya melalui kelompok dan garis perguruan merekalah seseorang akan memperoleh rahmat dan pertolongan Tuhan.  Bagi saya ini hanyalah sekadar sebuah  doktrin basi untuk menarik pengikut. Ia menganggap Tuhan hanya milik kelompoknya dan mereka yang berada di luar kelompoknya hanya melakukan sebuah pencarian dan pelaksanaan kegiatan spiritual yang sia - sia. Suatu hal yang menurut saya betul - betul tak masuk akal, non sense! Ia dan kelompoknya ingin memiliki dan memonopoli Tuhan dan surga, wow...hebat sekali.

Tentu tidak salah apabila dalam sebuah keyakinan menganggap Tuhan yang mereka puja adalah Tuhan yang tertinggi, atau bahkan menganggap bahwa perwujudan Tuhan yang dipuja adalah perwujudan Tuhan yang asli. Itu adalah hak mereka, hak pribadi mereka, karena hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang sangat pribadi. Hubungan anda dengan Tuhan, hubungan saya dengan Tuhan, is private

Namun tatkala telah merasa memuja Tuhan yang satu itu, yang tertinggi itu, tapi kemudian menomor duakan atau merendahkan perwujudan Tuhan yang dipuja orang lain, itu adalah sebuah kebodohan. Mereka mengatakan Tuhan itu satu adanya, namun di saat yang sama mereka mengatakan Tuhan atau perwujudan-Nya yang dipuja orang lain adalah yang “nomor dua” atau yang lebih rendah, bagaimana bisa?. Memangnya Tuhan itu ada berapa sih, katanya ada satu, kemudian kenapa ada yang nomor dua, tiga, atau yang lebih tinggi dan yang lebih rendah?. Nah lho.........!!!. 

Itulah yang saya katakan sebuah kebodohan, kebodohan dalam keakuan. Jika memang Tuhan itu satu adanya, itu artinya yang nomor dua, tiga atau yang lebih tinggi atu lebih rendah itu, tidak lain dan tidak bukan adalah yang satu itu, yang tertinggi itu, hanya satu itu. Jangan karena fanatisme sempit membuat kita jadi bodoh, tidak mampu melihat dan mendengar kebenaran yang disampaikan oleh orang diluar kelompok atau keyakinan kita. Ketahuilah bahwa terkadang kebenaran disampaikan oleh orang  yang kita anggap tersesat atau bahkan sesat. 

Ritual, upacara dan upakara boleh berbeda namun substansi dari semua itu saya yakin sama, yaitu perwujudan rasa bakti, rasa syukur dan rasa cinta kita terhadap Tuhan. Jangan terpaku dengan ritual, upacara maupun upakaranya. Jangan mencari perbedaan didalamnya untuk kemudian dijadikan bahan perdebatan, yang ini salah, yang itu salah, hmmm...terus yang benar yang mana?.

Cara setiap orang mengungkapkan rasa bakti, rasa syukur maupun rasa cintanya pada Tuhan tentu berbeda. Ada yang sebatas dengan cakupan tangan, ada yang dengan bunga, ada yang tekun dalam sadana rohani, ada yang mewujudkannya dalam sebuah pelayanan kepada manusia lainya, kepada alam maupun lingkungan. Hormati semua karena semua dilandasi oleh rasa bakti, rasa syukur, dan rasa cinta kasih terhadap Tuhan.

Jangan berupaya untuk mengganti sebuah tradisi adi luhung dalam masyarakat, dengan tradisi baru yang anda peroleh atau pelajari di tempat lain, walaupun mungkin bagi anda itu lebih mulia. Setiap daerah memiliki tradisi, adat dan budayanya sendiri jangan berusaha menghapusnya. Karena bisa jadi anda yang malah terhapus dari dalam masyarakat. Masyarakat yang kehilangan tradisi, adat dan budayanya adalah masyarakat yang kehilangan identitasnya. Tradisi dan budaya kita menunjukan jati diri kita, menunjukan bangsa dan tanah air kita. 

Kita mesti terbuka terhadap berbagai pengetahuan dan perkembangannya, terutama pengetahuan spiritual. Belajar itu hidup dan hidup adalah belajar, saat kita berhenti belajar adalah saat ajal menjemput. Namun terbuka terhadap berbagai ajaran maupun pengetahuan spiritual bukan berarti kita menerima dan menelan mentah - mentah segala ajaran yang masuk. Semua harus ada filternya, ada saringannya. Menerima pengetahuan spiritual bukan berarti juga harus menerima berbagai tradisi yang dibawa atau melekat padanya. 

Dalam tradisi kita, orang Bali, saat datang ketempat suci atau Pura hendaknya memakai pakaian adat Bali. Perempuan memakai kain atau kamen dan kebaya sedangkan yang pria memakai kain kamen dan destar. Tradisi dan budaya ini hendaknya jangan digantikan dengan budaya yang datang dari luar, misalkan ketempat suci atau Pura memakai pakaian sari ala India, atau memakai jubah ala pertapa India. Meskipun pakaian bukanlah hal yang terpenting dalam berkeyakinan dan spiritualitas, namun pakaian adat tersebut mampu menunjukan jati diri kita sebagai orang Bali.

Tergabung dalam sebuah kelompok atau perguruan spiritual tentu adalah hal yang sangat baik. Memberikan kesempatan kita untuk bisa belajar lebih banyak hal tentang agama, spiritualitas dan Tuhan. Juga memberikan kesempatan berkumpul dengan mereka yang mempunyai keinginan dan minat yang sama dalam hal spiritual, yang bisa membantu perkembangan dan kemajuan rohani kita. 

Namun hal ini jangan dilakukan karena latah, karena banyak yang ikut saya juga mesti ikut, jangan karena itu. Bergabunglah atau berkumpulah dengan mereka yang mendukung kemajuan rohani kita dan yang mampu menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Jangan bergabung dengan kelompok spiritual yang hanya menjadikan anda semakin jauh dari keluarga, masyarakat, dan menjadikan anda orang yang meninggalkan berbagai tradisi luhur yang diwariskan oleh para leluhur kita. 

Jika ada perkumpulan atau kelompok - kelompok spiritual yang mengatakan bahwa hanya Tuhan merekalah yang benar dan Tuhan anda keliru, tinggalkan mereka. Jika ada yang mengatakan bahwa hanya ritual mereka yang benar dan ritual anda keliru, tinggalkan mereka. Jika ada yang mengatakan bahwa hanya tradisi, adat dan budaya yang kita miliki keliru dan harus kita tinggalkan, tinggalkan kelompok, perkumpulan atau perguruan seperti itu. Kita harus bangga atas tradisi, adat dan budaya yang kita miliki. Dan semua itu sudah dilandasi dengan berbagai nilai - nilai kemanusiaan yang luhur dan mulia. Meskipun mungkin ada beberapa hal yang harus mendapatkan penyesuaian dengan perkembangan zaman. 

Daripada sibuk berusaha untuk meyakinkan orang lain atas apa yang anda yakini akan lebih baik apabila anda berusaha meyakinkan diri anda sendiri dan capailah apa yang menjadi tujuan rohani anda. Jangan berusaha meyakinkan orang lain atas apa yang anda sendiripun tak yakini sepenuhnya. Jangan hanya sekadar pintar mengahapal dan mengutip sloka dan ayat suci, karena sastra atau kitab suci bukan sekadar untuk dihapal dan dikutip, tapi untuk dipahami dan dilaksanakan. Seribu hapalan dan kutipan dari kitab suci tidak bernilai dibandingkan satu saja pelaksanaannya. Hapalan - hapalan - hapalan tidak berarti sama sekali dibandingkan kerja - kerja - kerja.

(Ganapatyananda)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar