Minggu, 21 Juni 2015

Wiswamitra dan Maha Mantra Gayatri



Picture taken from Google
Wiswamitra adalah seorang Maharaja India, sekali peristiwa beliau pergi berburu di hutan pegunungan Himalaya. Beliau bersama pasukannya merasa lapar dan lelah setelah berburu.  Setelah berkeliling, akhirnya mereka sampai di sebuah pertapaan, yang ternyata pertapaan dari Brahmarsi Wasistha. Gelar Brahmarsi berarti seorang bijak yang memiliki kesadaran kosmis. Sang raja menghampiri sang Brahmarsi dan memberikan penghormatan kepadanya. Sang Brahmarsi Wasista berkenan menerimanya dan mempersilahkan sang raja untuk duduk. Sang raja pun menceritakan permasalahannya, bahwa ia dan para pasukannya sangat membutuhkan makanan dan tempat istirahat. Segera sang Brahmarsi memanggil Kamadhenu, yaitu seekor sapi surgawi yang mampu menyediakan dan mengabulkan segala keinginan, kemudian Sang Brahmarsi pun meminta Kamadhenu untuk menyediakan segala keperluan sang raja dan pasukannya, yaitu makanan dan minuman. Sapi tersebut menghasilkan makanan dan minuman hanya dengan kehendaknya dan memberi makan semuanya. Mereka semua sangat kagum dengan akan daya pemenuhan keinginan dari sapi tersebut.


Raja Wiswamitra menghampiri sang Brahmarsi dan berkata, "wahai sang mahabijak junjungan hamba, hamba sangat berkenan dengan sapi yang mampu memenuhi segala keinginan milik tuan hamba, mohon perkenankan hamba mengambil dan memiliki sapi ini dan hamba akan menggantinya dengan ribuan sapi milik hamba".

Sang Brahmarsi Wasistha berkata, "wahai sang raja, sapi ini merupakan sapi surgawi, anugerah Tuhan bagi mereka yang telah mampu mewujudkan kebenaran. Walaupun anda memberikan seluruh kerajaan anda sebagai gantinya, mohon maaf saya tidak akan memberikannya".

Mendengar hal ini raja Wiswamitra menjadi marah dan berakata, "wahai Brahmarsi, jangan lupa bahwa aku adalah seorang raja dan anda telah menghinaku dengan menolak permintaanku. Oleh karena itu sekarang aku akan merampas sapi tersebut".

"Cobalah kalau engkau dapat melakukannya", kata sang Brahmarsi Wasistha.

Raja kemudian memerintahkan pasukannya dan orang - orangnya untuk mengambil dan merebut sapi tersebut dengan paksa dan kekerasan. Namun atas perintah dari sang Brahmarsi, ribuan mahkluk surgawi tercipta lengkap dengan senjatanya, sehingga pasukan sang rajapun gagal merebutnya. Raja Wiswamitra menjadi semakin marah dan kemudian menyerang dan bertempur dengan sang Mahabijak Wasistha. Berbagai senjata dikeluarkan dan dipergunakan oleh sang raja untuk menyerang sang Brahmarsi, namun hanya dengan lambaian tongkat kependetaannya, semua senjata tersebut berubah wujud menjadi sekuntum bunga ketika mendekati sang Brahmarsi. Dengan tongkatnya ini sang Brahmarsi kemudian memukul sang raja. Akhirnya sang raja pun menyerah dan menyadari kehebatan dari sang Brahmarsi dan memohon pengampunan. Sang Brahmarsi Wasistha yang penuh kasih akhirnya mengampuni sang raja dan menarik tongkatnya kembali.

Raja Wiswamitra betul - betul malu dan terhina, ia menyadari bahwa semua kedudukannya dan miliknya, kekuasaan dan kekayaan serta kerajaan ternyata bukanlah apa - apa dibandingkan dengan Brahma-Teja atau kesemarakan dari Sang Brahmarsi Wasistha.

Ia berlari dan duduk  dibawah sebatang pohon dan meratap, "bagiamanakah aku agar bisa menjadi seperti sang Mahabijak Wasistha, bagaimana aku bisa memperoleh status Brahmarsi, bagaimana aku mendapatkan semua kekuatan ilahi itu?". "Aku tidak akan kembali ke kerajaanku, aku akan melepaskan keterikatanku dengan istri, anak dan melepaskan kerajaanku. Aku akan pergi ke gunung Himalaya untuk melakukan tapasya. Aku harus mendapatkan daya - daya kekuatan seperti yang dimiliki Brahmarsi Wasistha dan aku harus balas dendam. Aku harus dapat mengalahkannya, harus...!!!".

Meskipun sang raja sedang berusaha untuk melakukan tapasya dan meditasi, tapi pemikirannya untuk bisa membalas dendam masih sangat mengikatnya.

Dengan meninggalkan kerajaan, istri dan anak dan keluarganya, Wiswamitra memasuki hutan pegunungan Himalaya yang begitu lebat tanpa seorang pengikutpun. Wiswamitra merasa sangat kelelahan dan sengsara. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, karena ia hanya tahu sedikit tentang yoga,pranayama, tapa dan meditasi. Namun rasa keakuannya menghalanginya untuk memohon bimbingan dari sang Mahabijak Wasistha. "Aku harus bisa dan aku harus mampu melaksanakannya", demikianlah pikiran dan keteguhan hatinya yang memantapkan niatnya.

Wiswamitra mendaki sebuah puncak gunung Himalaya dan mandi di aliran sungai Gangga yang suci, kemudian ia duduk di sebuah batu karang untuk bermeditasi. Lama - kelamaan api yoga dan asap muncul dari puncak kepalanya dan mulai membakar wilayah yang lebih tinggi, sehingga dewa Indra menjadi cemas dan berpikir bahwa Wiswamitra ingin merebut tahtanya dengan kekuatan tapanya.

Untuk itu dewa Indra mengutus seorang bidadari cantik jelita yang bernama Menaka untuk menggoda Wiswamitra dan membuyarkan tapasyanya. Wiswamitra pun terpesona dan tergoda dengan kecantikan dari Menaka dan kemudian menikahinya. Selama setahun Wiswamitra hidup berbahagia dengan Menaka sampai mereka memperoleh seorang anak perempuan yang diberi nama Sakuntala. Namun akhirnya Wiswamitra menyadari akan kekuatan maya dan kemudian pergi ke hutan lainya meninggalkan Menaka dan putrinya.

Menaka, bidadari surga yang telah menghancurkan tapa dan meditasi Wiswamitra, akhirnya pun kembali ke surga dan meninggalkan bayi perempuannya di hutan. Bayi ini kemudian di pungut dan diselamatkan oleh Rsi Kanwa yang menemukannya di hutan. 

Dengan meninggalkan makan dan minum, Wiswamitra berusaha mendapatkan kekuatan spiritual yang tertinggi. Ia berdiri dengan satu kaki dan mengangkat tangannya, bermeditasi kepada Brahman, selama beberapa tahun lamanya, sehingga ketiga alam terjangkau oleh api yoga dari tapanya. Dewa Indra kemudian mengutus seorang bidadari lain yang bernama Rambha. Rambha berusaha menggoda dan merayu Wiswamitra. Wiswamitra berusaha untuk tidak mengindahkannya, namun akhirnya ia merasa tertanggu dan marah. Kemudian ia membuka matanya dan mengutuk Rambha menjadi batu, Rambha pun berubah menjadi batu. Akhirnya Wiswamitra menyadari bahwa kemampuan yang diperoleh dari tapanya di hancurkan oleh kemarahannya. Ia sadar pertama tapanya hancur karena nafsu, sekarang tapanya hancur karena amarah. Tapi semangat Wiswamitra tidak pernah padam, ia kembali mendaki puncak Himalaya dan kembali tenggelam dalam tapasya. Dengan menahan nafas dan tanpa bergerak selama beberapa tahun, Wiswamitra mendapatkan berbagai kekuatan spiritual yang hebat.

Sementara itu, negeri India diperintah oleh raja Trisanku, sang raja ingin melaksanakan sebuah upacara korban api suci yang besar yang dapat membawanya ke wilayah surga dengan badan manusianya. Ia menemui Brahmarsi Wasistha, sebagai Guru keluarganya, untuk melaksanakan upacara tersebut. Namun Brahmarsi Wasistha menolak untuk melakukan upacara tersebut dan mengatakan bahwa pergi ke surga dengan badan manusia adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum dewata.

Sang raja sangat marah atas penolakan ini dan kemudian pergi menemui Wiswamitra, saingan dari Wasistha. Wiswamitra yang ingin membalas dendam kepada Wasistha menerima permintaan ini, untuk menunjukan kekuatan yoganya.Ia kembali ke istana dengan sang raja dan melaksanakan ritual upacara tersebut dan dengan kekuatan yoganya mengirim raja Trisanku ke wilayah surga, kekuasaan dewa Indra.

Indra dan para bidadari melihat sang raja memasuki surga dengan badan duniawinya, segera mendorongnya untuk kembali ke Bumi. Raja Trisanku pun jatuh dari surga, dengan sedih ia berteriak minta pertolongan kepada Wiswamitra "oh..Wiswamitra, lindungilah aku". Wiswamitra melihat sang raja terjatuh dari surga dan  dengan kekuatan yoganya menghentikan jatuhnya. "Wahai raja Trisanku, berhenti, tak perlu cemas, aku akan menciptakan sebuah sistem bintang baru dan sebuah surga bagi raja Trisanku". Demikianlah hingga sekarang, Trisanku bersinar sebagai sebuah bintang dilangit.

Kembali Wiswamitra kehilangan semua kekuatan tapanya, ia merasa putus asa karena tidak mencapai tujuan yang tertinggi. Akhirnya Wiswamitra memutuskan untuk kembali ke hutan dan tidak akan beranjak dari tapasyanya. Semangat Wiswamitra tidak kunjung padam.

Wiswamitra memilih puncak pegunungan Himalaya yang tertinggi, kemudian bermeditasi kepada Brahman yang abadi. Musim berputar, tahun - tahun berlalu tapi Wiswamitra duduk tenang tanpa gerak dan pandangannya dipusatkan diantara kedua alisnya. Demikian hebatnya tapasyanya hingga api yoganya mencapai kediaman Brahma, sang pencipta. Dewa Brahma muncul dan memberkatinya "wahai anaku, Aku berkenan dengan tapasyamu dan engkau telah mencapai yang tertinggi. Sekarang engkau adalah seorang Maharsi, dan engkau akan menjadi seorang Brahmarsi apabila engkau memperoleh berkat dan diberkati oleh sang Mahabijak Wasistha", berkata demikian kemudian lenyap. 

Wiswamitra menjadi frustasi,"aku harus pergi kepada Brahmarsi Wasistha untuk mendapatkan berkatnya untuk menjadi seorang Brahmarsi, tidak, aku tidak akan melakukannya!!!". "Selama Wasistha masih hidup, aku tidak dapat menjadi seorang Brahmarsi, barangkali jika aku membunuhnya, barulah aku bisa menjadi seorang Brahmarsi". Berpikir demikian, Wiswamitra pergi ke pertapaan Brahmarsi Wasistha pada tengah malam. Dengan membawa sebongkah batu untuk memukul kepala Brahmarsi Wasistha, ia berdiri dekat pintu pertapaan dan menunggu sang Brahmarsi lewat.

Dari luar, Wiswamitra mendengar sang Brahmarsi bercakap - cakap dengan istrinya, Arundhati. "Arundhati", kata Wasistha,"Wiswamitra adalah seorang yang hebat dan ia sangat dekat untuk pencapaian kedudukan Brahmarsi, tetapi.....".

"Tetapi apa, apakah paduka tidak akan memberkatinya dengan kedudukan itu, apabila ia memang pantas untuk itu?", kata Arundhati.

"Sudah tentu aku akan memberkatinya, asalkan ia datang kepadaku", kata Wasistha

Wiswamintra yang mendengar percakapan ini merasa malu akan kebenciannya terhadap seorang yang bijak yang bersifat Tuhan seperti itu. Ia meleparkan batu yang dipeganggnya dan bergegas menemui Brahmarsi Wasistha dan jatuh bersujud di kakinya.

"Sekarang engkau menjadi seorang Brahmarsi", kata Wasistha kepada Wiswamitra. "Engkau telah menunjukan kepada dunia bahwa semangat manusia tak kunjung padam dan pantang mundur. Engkau telah menaklukan nafsu, amarah, lobha, keterikatan dan kesombongan satu demi satu melalui tapa dan meditasimu. Penghalang terakhir adalah kecemburuan dan sekarang engkaupun telah menaklukannya. Selamat Brahmarsi Wiswamitra", berkata demikian Brahmarsi Wasistha menyentuh tengah - tengah kedua alis mata Wiswamitra. Penglihatan rohani Wiswamitra terbuka dan ia mendengar tujuh irama dalam proses penciptaan kosmos ini, mantra suci Gayatri dengan tujuh Wyahrti atau iramanya diperdengarkan kepadanya pada saat itu yang bunyinya demikian:

Om Bhuh, Om Bhuwah, Om Swaha, Om Maha, Om Janah, Om Tapah, Om Satyam.
Om tat sawitur warenyam
Bhargo dewasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodayat
Om āpo jyotih
Raso - mrtam
Brahma Bhur Bhuwah Swar - Om

Semoga kami bermeditasi pada kesemarakannya sinar-Nya, yang layak dipuja dan yang telah menciptakan semua alam dunia ini. Semoga Ia mencerahi kecerdasan kami.

Brahmarsi Wiswamitra mengalami kesadaran kosmis dan menegakannya pada kesadaran tertinggi dan menjadi abadi.

Wiswamitra jatuh dan gagal berulang kali dalam perjalanan spiritualnya, tapi semangatnya tidak pernah padam, hingga akhirnya mencapai Yang Tertinggi. Pun demikan halnya kita, bisa jatuh dan gagal berulang kali dalam perjalanan spiritual, namun jangan sampai kita menyerah dan melepaskannya, sampai akhirnya kita mencapai tujuan yang tertinggi. Demikianlah cerita suci munculnya Mahamantra Gayatri, Ibu dari segala mantra.

JAYALAH BRAHMARSI WISWAMITRA !!!
............................................................................


(Ganapatyananda)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar