Picture taken from Google |
Raja Wiswamitra menghampiri sang
Brahmarsi dan berkata, "wahai sang
mahabijak junjungan hamba, hamba sangat berkenan dengan sapi yang mampu
memenuhi segala keinginan milik tuan hamba, mohon perkenankan hamba mengambil
dan memiliki sapi ini dan hamba akan menggantinya dengan ribuan sapi milik
hamba".
Sang Brahmarsi Wasistha berkata,
"wahai sang raja, sapi ini merupakan
sapi surgawi, anugerah Tuhan bagi mereka yang telah mampu mewujudkan kebenaran.
Walaupun anda memberikan seluruh kerajaan anda sebagai gantinya, mohon maaf
saya tidak akan memberikannya".
Mendengar hal ini raja Wiswamitra
menjadi marah dan berakata, "wahai
Brahmarsi, jangan lupa bahwa aku adalah seorang raja dan anda telah menghinaku
dengan menolak permintaanku. Oleh karena itu sekarang aku akan merampas sapi
tersebut".
"Cobalah kalau engkau dapat melakukannya", kata sang Brahmarsi
Wasistha.
Raja kemudian memerintahkan
pasukannya dan orang - orangnya untuk mengambil dan merebut sapi tersebut
dengan paksa dan kekerasan. Namun atas perintah dari sang Brahmarsi, ribuan
mahkluk surgawi tercipta lengkap dengan senjatanya, sehingga pasukan sang
rajapun gagal merebutnya. Raja Wiswamitra menjadi semakin marah dan kemudian
menyerang dan bertempur dengan sang Mahabijak Wasistha. Berbagai senjata
dikeluarkan dan dipergunakan oleh sang raja untuk menyerang sang Brahmarsi,
namun hanya dengan lambaian tongkat kependetaannya, semua senjata tersebut
berubah wujud menjadi sekuntum bunga ketika mendekati sang Brahmarsi. Dengan
tongkatnya ini sang Brahmarsi kemudian memukul sang raja. Akhirnya sang raja
pun menyerah dan menyadari kehebatan dari sang Brahmarsi dan memohon
pengampunan. Sang Brahmarsi Wasistha yang penuh kasih akhirnya mengampuni sang
raja dan menarik tongkatnya kembali.
Raja Wiswamitra betul - betul
malu dan terhina, ia menyadari bahwa semua kedudukannya dan miliknya, kekuasaan
dan kekayaan serta kerajaan ternyata bukanlah apa - apa dibandingkan dengan
Brahma-Teja atau kesemarakan dari Sang Brahmarsi Wasistha.
Ia berlari dan duduk dibawah sebatang pohon dan meratap, "bagiamanakah aku agar bisa menjadi seperti
sang Mahabijak Wasistha, bagaimana aku bisa memperoleh status Brahmarsi,
bagaimana aku mendapatkan semua kekuatan ilahi itu?". "Aku tidak akan
kembali ke kerajaanku, aku akan melepaskan keterikatanku dengan istri, anak dan
melepaskan kerajaanku. Aku akan pergi ke gunung Himalaya untuk melakukan
tapasya. Aku harus mendapatkan daya - daya kekuatan seperti yang dimiliki
Brahmarsi Wasistha dan aku harus balas dendam. Aku harus dapat mengalahkannya,
harus...!!!".
Meskipun sang raja sedang
berusaha untuk melakukan tapasya dan meditasi, tapi pemikirannya untuk bisa
membalas dendam masih sangat mengikatnya.
Dengan meninggalkan kerajaan,
istri dan anak dan keluarganya, Wiswamitra memasuki hutan pegunungan Himalaya
yang begitu lebat tanpa seorang pengikutpun. Wiswamitra merasa sangat kelelahan
dan sengsara. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, karena ia hanya tahu
sedikit tentang yoga,pranayama, tapa dan meditasi. Namun rasa keakuannya
menghalanginya untuk memohon bimbingan dari sang Mahabijak Wasistha. "Aku harus bisa dan aku harus mampu
melaksanakannya", demikianlah pikiran dan keteguhan hatinya yang
memantapkan niatnya.
Wiswamitra mendaki sebuah puncak
gunung Himalaya dan mandi di aliran sungai Gangga yang suci, kemudian ia duduk
di sebuah batu karang untuk bermeditasi. Lama - kelamaan api yoga dan asap
muncul dari puncak kepalanya dan mulai membakar wilayah yang lebih tinggi,
sehingga dewa Indra menjadi cemas dan berpikir bahwa Wiswamitra ingin merebut
tahtanya dengan kekuatan tapanya.
Untuk itu dewa Indra mengutus
seorang bidadari cantik jelita yang bernama Menaka untuk menggoda Wiswamitra
dan membuyarkan tapasyanya. Wiswamitra pun terpesona dan tergoda dengan
kecantikan dari Menaka dan kemudian menikahinya. Selama setahun Wiswamitra
hidup berbahagia dengan Menaka sampai mereka memperoleh seorang anak perempuan
yang diberi nama Sakuntala. Namun akhirnya Wiswamitra menyadari akan kekuatan
maya dan kemudian pergi ke hutan lainya meninggalkan Menaka dan putrinya.
Menaka, bidadari surga yang telah
menghancurkan tapa dan meditasi Wiswamitra, akhirnya pun kembali ke surga dan
meninggalkan bayi perempuannya di hutan. Bayi ini kemudian di pungut dan
diselamatkan oleh Rsi Kanwa yang menemukannya di hutan.
Dengan meninggalkan makan dan
minum, Wiswamitra berusaha mendapatkan kekuatan spiritual yang tertinggi. Ia
berdiri dengan satu kaki dan mengangkat tangannya, bermeditasi kepada Brahman, selama
beberapa tahun lamanya, sehingga ketiga alam terjangkau oleh api yoga dari
tapanya. Dewa Indra kemudian mengutus seorang bidadari lain yang bernama
Rambha. Rambha berusaha menggoda dan merayu Wiswamitra. Wiswamitra berusaha
untuk tidak mengindahkannya, namun akhirnya ia merasa tertanggu dan marah.
Kemudian ia membuka matanya dan mengutuk Rambha menjadi batu, Rambha pun
berubah menjadi batu. Akhirnya Wiswamitra menyadari bahwa kemampuan yang
diperoleh dari tapanya di hancurkan oleh kemarahannya. Ia sadar pertama tapanya
hancur karena nafsu, sekarang tapanya hancur karena amarah. Tapi semangat
Wiswamitra tidak pernah padam, ia kembali mendaki puncak Himalaya dan kembali
tenggelam dalam tapasya. Dengan menahan nafas dan tanpa bergerak selama
beberapa tahun, Wiswamitra mendapatkan berbagai kekuatan spiritual yang hebat.
Sementara itu, negeri India
diperintah oleh raja Trisanku, sang raja ingin melaksanakan sebuah upacara
korban api suci yang besar yang dapat membawanya ke wilayah surga dengan badan
manusianya. Ia menemui Brahmarsi Wasistha, sebagai Guru keluarganya, untuk
melaksanakan upacara tersebut. Namun Brahmarsi Wasistha menolak untuk melakukan
upacara tersebut dan mengatakan bahwa pergi ke surga dengan badan manusia
adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum dewata.
Sang raja sangat marah atas penolakan
ini dan kemudian pergi menemui Wiswamitra, saingan dari Wasistha. Wiswamitra
yang ingin membalas dendam kepada Wasistha menerima permintaan ini, untuk
menunjukan kekuatan yoganya.Ia kembali ke istana dengan sang raja dan
melaksanakan ritual upacara tersebut dan dengan kekuatan yoganya mengirim raja
Trisanku ke wilayah surga, kekuasaan dewa Indra.
Indra dan para bidadari melihat
sang raja memasuki surga dengan badan duniawinya, segera mendorongnya untuk
kembali ke Bumi. Raja Trisanku pun jatuh dari surga, dengan sedih ia berteriak
minta pertolongan kepada Wiswamitra "oh..Wiswamitra,
lindungilah aku". Wiswamitra melihat sang raja terjatuh dari surga
dan dengan kekuatan yoganya menghentikan
jatuhnya. "Wahai raja Trisanku,
berhenti, tak perlu cemas, aku akan menciptakan sebuah sistem bintang baru dan
sebuah surga bagi raja Trisanku". Demikianlah hingga sekarang,
Trisanku bersinar sebagai sebuah bintang dilangit.
Kembali Wiswamitra kehilangan
semua kekuatan tapanya, ia merasa putus asa karena tidak mencapai tujuan yang
tertinggi. Akhirnya Wiswamitra memutuskan untuk kembali ke hutan dan tidak akan
beranjak dari tapasyanya. Semangat Wiswamitra tidak kunjung padam.
Wiswamitra memilih puncak
pegunungan Himalaya yang tertinggi, kemudian bermeditasi kepada Brahman yang
abadi. Musim berputar, tahun - tahun berlalu tapi Wiswamitra duduk tenang tanpa
gerak dan pandangannya dipusatkan diantara kedua alisnya. Demikian hebatnya
tapasyanya hingga api yoganya mencapai kediaman Brahma, sang pencipta. Dewa
Brahma muncul dan memberkatinya "wahai
anaku, Aku berkenan dengan tapasyamu dan engkau telah mencapai yang tertinggi.
Sekarang engkau adalah seorang Maharsi, dan engkau akan menjadi seorang
Brahmarsi apabila engkau memperoleh berkat dan diberkati oleh sang Mahabijak Wasistha",
berkata demikian kemudian lenyap.
Wiswamitra menjadi
frustasi,"aku harus pergi kepada
Brahmarsi Wasistha untuk mendapatkan berkatnya untuk menjadi seorang Brahmarsi,
tidak, aku tidak akan melakukannya!!!". "Selama Wasistha masih hidup,
aku tidak dapat menjadi seorang Brahmarsi, barangkali jika aku membunuhnya,
barulah aku bisa menjadi seorang Brahmarsi". Berpikir demikian,
Wiswamitra pergi ke pertapaan Brahmarsi Wasistha pada tengah malam. Dengan
membawa sebongkah batu untuk memukul kepala Brahmarsi Wasistha, ia berdiri
dekat pintu pertapaan dan menunggu sang Brahmarsi lewat.
Dari luar, Wiswamitra mendengar
sang Brahmarsi bercakap - cakap dengan istrinya, Arundhati. "Arundhati", kata Wasistha,"Wiswamitra adalah seorang yang hebat dan ia
sangat dekat untuk pencapaian kedudukan Brahmarsi, tetapi.....".
"Tetapi apa, apakah paduka tidak akan memberkatinya dengan kedudukan itu,
apabila ia memang pantas untuk itu?", kata Arundhati.
"Sudah tentu aku akan memberkatinya, asalkan ia datang kepadaku",
kata Wasistha
Wiswamintra yang mendengar
percakapan ini merasa malu akan kebenciannya terhadap seorang yang bijak yang
bersifat Tuhan seperti itu. Ia meleparkan batu yang dipeganggnya dan bergegas
menemui Brahmarsi Wasistha dan jatuh bersujud di kakinya.
"Sekarang engkau menjadi seorang Brahmarsi", kata Wasistha
kepada Wiswamitra. "Engkau telah
menunjukan kepada dunia bahwa semangat manusia tak kunjung padam dan pantang
mundur. Engkau telah menaklukan nafsu, amarah, lobha, keterikatan dan
kesombongan satu demi satu melalui tapa dan meditasimu. Penghalang terakhir
adalah kecemburuan dan sekarang engkaupun telah menaklukannya. Selamat
Brahmarsi Wiswamitra", berkata demikian Brahmarsi Wasistha menyentuh
tengah - tengah kedua alis mata Wiswamitra. Penglihatan rohani Wiswamitra
terbuka dan ia mendengar tujuh irama dalam proses penciptaan kosmos ini, mantra
suci Gayatri dengan tujuh Wyahrti atau iramanya diperdengarkan kepadanya pada
saat itu yang bunyinya demikian:
Om Bhuh, Om Bhuwah, Om Swaha, Om
Maha, Om Janah, Om Tapah, Om Satyam.
Om tat sawitur warenyam
Bhargo dewasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodayat
Om āpo jyotih
Raso - mrtam
Brahma Bhur Bhuwah Swar - Om
Semoga kami bermeditasi pada
kesemarakannya sinar-Nya, yang layak dipuja dan yang telah menciptakan semua
alam dunia ini. Semoga Ia mencerahi kecerdasan kami.
Brahmarsi Wiswamitra mengalami
kesadaran kosmis dan menegakannya pada kesadaran tertinggi dan
menjadi abadi.
Wiswamitra jatuh dan gagal
berulang kali dalam perjalanan spiritualnya, tapi semangatnya tidak pernah
padam, hingga akhirnya mencapai Yang Tertinggi. Pun demikan halnya kita,
bisa jatuh dan gagal berulang kali dalam perjalanan spiritual, namun jangan
sampai kita menyerah dan melepaskannya, sampai akhirnya kita mencapai tujuan
yang tertinggi. Demikianlah cerita suci munculnya Mahamantra Gayatri, Ibu dari
segala mantra.
JAYALAH BRAHMARSI WISWAMITRA !!!
............................................................................
(Ganapatyananda)
............................................................................
(Ganapatyananda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar