Sabtu, 28 Februari 2015

Gaji, Kurang Atau Kurang Bijak.




“Bung baru seminggu dapat gaji, sekarang sudah tinggal setengahnya saja, stress aku mikirin pengeluaranku”, keluh seorang rekan kerjaku di kantor.

“Aku juga sama Bung, entah aku belanjain apa, eh tahu – tahu saldo di ATM sudah memprihatinkan. Tapi kalau dihitung – hitung, memang benar habisnya segitu”, jawabku.

Itulah sedikit keluhan keuangan dalam sebuah obrolan di tempat kerjaku. Gaji yang sepertinya tak sebanding dengan biaya hidup dan makin mahalnya keperluan sehari – hari. Kami biasanya menerima gaji seminggu menjelang akhir bulan. Perusahaan tempat kami bekerja adalah sebuah perusahaan yang cukup besar yang unitnya tersebar di seluruh Indonesia dengan karyawan lebih dari 3000 orang. Dan jujur saja gaji yang kami terima termasuk diatas rata – rata pendapatan kebanyakan karyawan biasa diperusahaan lain. Namun tetap saja kami seringkali merasa gaji kami tak cukup untuk biaya hidup. 

Namun banyak juga yang anteng – anteng aja dengan gajinya, namun mereka itu biasanya istrinya juga bekerja. Berbeda denganku dan sahabat yang hanya bekerja sendiri, karena istri harus mengurus anak. Jadi keluhan keuangan sudah menjadi obrolan biasa apalagi saat pertengahan bulan.

Aku biasanya mencoba membuat sebuah rencana anggaran pendapatan dan pengeluaran rumah tanggaku. Kubuat dengan sederhana tapi lengkap, dari anggaran untuk bayar cicilan, tabungan anak, belanja harian dan lain – lain. Namun anggaran pengeluaran dan belanja selalu lebih besar dari pendapatan, padahal itu baru diatas kertas. 

“Baru diatas kertas aja sudah kurang, apalagi real-nya, lebih besar pasak daripada tiang”  pikiirku.

Real-nya cenderung lebih dari anggaran yang telah direncanakan. Karena banyak sekali keperluan lain yang timbul dalam perjalanannya, dari biaya untuk suka duka di masyarakat sampai biaya emergency. Dan seringkali semua biaya dan pengeluaran ini membuat kepala jadi pening.

Namun jika diperhatikan, banyak kok orang lain yang gajinya lebih kecil dari kami, bahkan hanya setengahnya saja, tapi mereka tampaknya fine – fine aja. Terus kenapa kami yang tergolong bergaji lumayan, seringkali merasa keteteran. 

“Apakah pemakaiannya yang salah atau apa?”, tanyaku dalam benakku sendiri.

Dalam sebuah kesempatan, aku duduk ngobrol sama orang tuaku. Kami jarang ngobrol, tapi kalau sudah ngobrol, obrolanya pasti panjang lebar. Obrolan pun sampai kepada urusan rumah tanggaku, gajiku dan pengeluaranku. Dalam segala urusan, aku senantiasa terbuka pada orangtuaku. Kalau ada kesempatan aku senantiasa berbagi cerita, apalagi kesulitan – kesulitan dalam kehidupan rumah tanggaku. Beliau adalah tempatku berbagi, suka dan duka, walaupun kebanyakan berbagi dukanya.

“Pak dengan gaji segini, susah sekali aku mencukupi keperluan keluargaku”, ceritaku pada ayahku. Aku ceritakan besaran gajiku dan besaran pengeluaranku sebulan. Ayahku mendengarkanya dengan penuh perhatian.

“Bukan gajimu yang tak cukup, tapi penggunannya yang kurang bijak”, jawab ayahku.

“Kurangilah belanja yang tak perlu dan tentukan apa yang menjadi prioritas. Mulailah penghematan dari hal urusan isi perut atau makanan. Setiap hari istrimu kan masak dirumah, makanlah dirumah, jangan makan diluar.. Makan diluar sekali – dua kali memang tak masalah, namun jika sering tentu akan menghabiskan banyak uang. Sekali lagi mulailah hemat dalam hal urusan isi perut”, ayahku berbicara panjang lebar.

“Kita mesti berdisiplin dalam hal pemakaian uang, apalagi engkau adalah seorang karyawan yang pendapatanya hanya berupa gaji bulanan. Dari gajimu tentukan dan sesuaikan anggaran bulanannya, kemudian pergunakan gajimu sesuai dengan apa yang telah engkau anggarkan, jangan menyimpang”, lanjutnya.

“Uang dapur bisa menyesuaikan, jangan terlalu banyak menu, pokoknya urusan isi perut atau makanan bisa dihemat sehemat – hematnya, pinter – pinter istrimu saja. Makan apa yang disediakan di meja makan, jangan mengeluh. Prioritaskan untuk membayar segala cicilan yang dimiliki, biaya sekolah anak, tabungan anak., maupun keperluan anak yang lain. Keperluan anak, pendidikan dan masa depan mereka yang utama. Keperluan dan kebutuhanmu nomor dua, meskipun uang itu dari hasil kerjamu”, sambungnya lagi.

Aku hanya diam dan mendengarkan sambil manggut – manggut. Apa beliau katakan memang benar dan aku pun setuju. Dulu gajiku juga tidak sebesar sekarang, namun aku berusaha untuk mencukupi segala keperluan rumah tanggaku. Bahkan dulu aku seringkali berandai – andai seandainya gajiku segini, pasati cukup buat keperluan hidup dan nabung. Tapi ketika aku sudah mendapatkan gaji sebesar apa yang kuinginkan dan idamkan dulu, kok sekarang tetap juga terasa kurang.

Mungkin memang benar kata orang, berapapun gaji yang kita terima, kalau tidak bijak menggunakannya pasti tetap terasa kurang. Memang besaran gaji mempengaruhi gaya dan pola hidup. Semakin besar gaji yang diterima, semakin besar juga pengeluaran. Jadi mungkin benar sekali bahwa BUKAN GAJI KITA YANG TAK CUKUP, NAMUN SERINGKALI PENGATURANNYA YANG KURANG BIJAK.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar