“Bung baru seminggu dapat gaji,
sekarang sudah tinggal setengahnya saja, stress aku mikirin pengeluaranku”,
keluh seorang rekan kerjaku di kantor.
“Aku juga sama Bung, entah aku
belanjain apa, eh tahu – tahu saldo di ATM sudah memprihatinkan. Tapi kalau
dihitung – hitung, memang benar habisnya segitu”, jawabku.
Itulah sedikit keluhan keuangan dalam
sebuah obrolan di tempat kerjaku. Gaji yang sepertinya tak sebanding dengan
biaya hidup dan makin mahalnya keperluan sehari – hari. Kami biasanya menerima
gaji seminggu menjelang akhir bulan. Perusahaan tempat kami bekerja adalah
sebuah perusahaan yang cukup besar yang unitnya tersebar di seluruh Indonesia
dengan karyawan lebih dari 3000 orang. Dan jujur saja gaji yang kami terima
termasuk diatas rata – rata pendapatan kebanyakan karyawan biasa diperusahaan
lain. Namun tetap saja kami seringkali merasa gaji kami tak cukup untuk biaya
hidup.
Namun banyak juga yang anteng –
anteng aja dengan gajinya, namun mereka itu biasanya istrinya juga bekerja.
Berbeda denganku dan sahabat yang hanya bekerja sendiri, karena istri harus
mengurus anak. Jadi keluhan keuangan sudah menjadi obrolan biasa apalagi saat
pertengahan bulan.
Aku biasanya mencoba membuat
sebuah rencana anggaran pendapatan dan pengeluaran rumah tanggaku. Kubuat
dengan sederhana tapi lengkap, dari anggaran untuk bayar cicilan, tabungan
anak, belanja harian dan lain – lain. Namun anggaran pengeluaran dan belanja
selalu lebih besar dari pendapatan, padahal itu baru diatas kertas.
“Baru diatas kertas aja sudah
kurang, apalagi real-nya, lebih besar pasak daripada tiang” pikiirku.
Real-nya cenderung lebih dari
anggaran yang telah direncanakan. Karena banyak sekali keperluan lain yang
timbul dalam perjalanannya, dari biaya untuk suka duka di masyarakat sampai
biaya emergency. Dan seringkali semua biaya dan pengeluaran ini membuat kepala
jadi pening.
Namun jika diperhatikan, banyak
kok orang lain yang gajinya lebih kecil dari kami, bahkan hanya setengahnya
saja, tapi mereka tampaknya fine – fine aja. Terus kenapa kami yang tergolong
bergaji lumayan, seringkali merasa keteteran.
“Apakah pemakaiannya yang salah
atau apa?”, tanyaku dalam benakku sendiri.
Dalam sebuah kesempatan, aku
duduk ngobrol sama orang tuaku. Kami jarang ngobrol, tapi kalau sudah ngobrol,
obrolanya pasti panjang lebar. Obrolan pun sampai kepada urusan rumah tanggaku,
gajiku dan pengeluaranku. Dalam segala urusan, aku senantiasa terbuka pada
orangtuaku. Kalau ada kesempatan aku senantiasa berbagi cerita, apalagi
kesulitan – kesulitan dalam kehidupan rumah tanggaku. Beliau adalah tempatku
berbagi, suka dan duka, walaupun kebanyakan berbagi dukanya.
“Pak dengan gaji segini, susah
sekali aku mencukupi keperluan keluargaku”, ceritaku pada ayahku. Aku ceritakan
besaran gajiku dan besaran pengeluaranku sebulan. Ayahku mendengarkanya dengan
penuh perhatian.
“Bukan gajimu yang tak cukup, tapi
penggunannya yang kurang bijak”, jawab ayahku.
“Kurangilah belanja yang tak
perlu dan tentukan apa yang menjadi prioritas. Mulailah penghematan dari hal
urusan isi perut atau makanan. Setiap hari istrimu kan masak dirumah, makanlah
dirumah, jangan makan diluar.. Makan diluar sekali – dua kali memang tak
masalah, namun jika sering tentu akan menghabiskan banyak uang. Sekali lagi
mulailah hemat dalam hal urusan isi perut”, ayahku berbicara panjang lebar.
“Kita mesti berdisiplin dalam hal
pemakaian uang, apalagi engkau adalah seorang karyawan yang pendapatanya hanya
berupa gaji bulanan. Dari gajimu tentukan dan sesuaikan anggaran bulanannya,
kemudian pergunakan gajimu sesuai dengan apa yang telah engkau anggarkan,
jangan menyimpang”, lanjutnya.
“Uang dapur bisa menyesuaikan,
jangan terlalu banyak menu, pokoknya urusan isi perut atau makanan bisa dihemat
sehemat – hematnya, pinter – pinter istrimu saja. Makan apa yang disediakan di
meja makan, jangan mengeluh. Prioritaskan untuk membayar segala cicilan yang
dimiliki, biaya sekolah anak, tabungan anak., maupun keperluan anak yang lain. Keperluan
anak, pendidikan dan masa depan mereka yang utama. Keperluan dan kebutuhanmu
nomor dua, meskipun uang itu dari hasil kerjamu”, sambungnya lagi.
Aku hanya diam dan mendengarkan
sambil manggut – manggut. Apa beliau katakan memang benar dan aku pun setuju. Dulu
gajiku juga tidak sebesar sekarang, namun aku berusaha untuk mencukupi segala
keperluan rumah tanggaku. Bahkan dulu aku seringkali berandai – andai seandainya
gajiku segini, pasati cukup buat keperluan hidup dan nabung. Tapi ketika aku
sudah mendapatkan gaji sebesar apa yang kuinginkan dan idamkan dulu, kok
sekarang tetap juga terasa kurang.
Mungkin memang benar kata orang,
berapapun gaji yang kita terima, kalau tidak bijak menggunakannya pasti tetap
terasa kurang. Memang besaran gaji mempengaruhi gaya dan pola hidup. Semakin besar
gaji yang diterima, semakin besar juga pengeluaran. Jadi mungkin benar sekali
bahwa BUKAN GAJI KITA YANG TAK CUKUP, NAMUN SERINGKALI PENGATURANNYA YANG KURANG BIJAK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar