Samudra
Wasane dewi
Parwata
Stana Mandite
Wisnu
Patni Namostubyam
Pada
Sparsam Ksama Swame
Oh Ibu Dewi, lautan adalah busana-Mu
Pegunungan adalah dada-Mu
Hormat kami kepada Permaisuri dari Dewa
Wisnu
Maafkan kami yang menginjak-Mu
Mantra ini adalah mantra yang ditujukan kepada Ibu
Bumi saat seseorang bangun pagi sebelum turun dari pembaringan dan menginjakan kakinya
di lantai. Mantra ini menunjukan betapa pentingnya peranan Bumi bagi kehidupan
semua mahkluk, hingga mantra ini merupakan salah satu mantra yang paling
penting diucapkan saat awal seseorang bangun dari tidurnya.
Bumi adalah tempat dimana kita
dan berbagai mahkluk hidup lainnya hidup. Bumi adalah penopang, sandaran, dan
yang memelihara semua mahkluk hidup yang ada. Oleh sebab itulah Bumi disebut juga
Ibu dalam sastra suci Weda. Bumi dalam sastra suci Weda disebut sebagai Pertiwi
Mata atau Ibu Pertiwi. Karena memang Bumi memiliki peranan yang sama bagaikan
seorang Ibu yang melahirkan, memelihara, menjaga dan mencukupi semua kebutuhan
anak – anaknya. Bumi menyediakan semua hal yang manusia butuhkan untuk
kelangsungan hidupnya. Pangan, papan dan sandang, semua itu didapat dari hasil
Bumi, manusia hanya mampu mengolah dan menjadikannya seperti apa yang
diinginkan. Demikian pentingnya arti Bumi ini bagi semua mahkluk, sehingga
sudah sewajarnyalah juga manusia menghormati, menjaga dan memelihara Bumi ini.
Adalah kewajiban bagi manusia untuk mencintai Bumi ini, sebagaimana ia
mencintai ibunya.
Bumi menyediakan apa yang manusia
butuhkan, namun manusia senantiasa ingin mendapatkan dan memenuhi segala
keinginannya. Manusia tidak dapat membedakan mana kebutuhkan dengan mana yang
hanya sekadar keinginan – keinginan untuk memenuhi berbagai nafsu dan ego. Bumi
ini sangat murah hati, jika sekadar untuk mencukupi berbagai kebutuhan manusia,
manusia tidak perlu untuk sampai membanting tulang. Hanya dengan sedikit usaha,
segala kebututuhan hidup pasti tercukupi dari hasil Bumi ini. Namun demi berbagai
keinginan – keinginan dan gaya hidup, terlebih dalam era modernisasi ini,
manusia telah mengeksploitasi Bumi demi mendapatkan berbagai bahan tambang,
mineral dan minyak. Dan segala ekploitasi Bumi ini sama sekali tidak dibarengi
dengan usaha untuk melestarikan alam dan mengembalikan kembali apa yang telah
mereka rusak. Peningkatan perekonomian masyarakat berbanding terbalik dengan
tingkat kelestarian alam Bumi ini. Pembangunan yang tidak memperhatikan tata
ruang dan jalur hijau serta alih fungsi lahan tanpa pernah ada upaya
pelestarian dan penanaman kembali serta tanpa memperhitungkan kemampuan alam
dalam menjaga tingkat pencemaran udara telah berdampak buruk bagi kesehatan
manusia sendiri.
Akhir – akhir ini musibah dan
bencana alam, terutama tanah longsor dan banjir menjadi berita yang hampir
setiap hari ada di TV. Bahkan di tempat – tempat yang dulunya, mungkin tak
pernah megalami banjir, sekarang malah kebanjiran. Penyebanya tentu adalah
pesatnya pembangunan perumahan dan laih fungsi lahan tanpa memperhatikan saluran
– saluran atau tanpa pembuatan selokan – selokan air yang berfungsi mengalirkan
air. Para pengembang lahan hanya mempersiapkan jalan tanpa mempersiapkan saluran atau selokan air yang memadai.
Demikian juga tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dalam menjaga kebersihan
lingkungan. Kebiasaan buang sampah
sembarangan terlebih di selokan dan sungai memperparah penyebab terjadinya
banjir. Penebangan hutan tanpa usaha reboisasi adalah penyebab utama tanah
longsor. Berbagi musiba dan bencana yang terjadi akhir – akhir ini semestinya
menjadi bahan introspeksi diri bagi banyak orang dan masyarakat untuk bisa
lebih menghormati Bumi ini.
Dalam sastra suci Hindu dikenal dengan falsafah hidup
Tri Hita Karana berasal
dari kata “Tri” yang berarti tiga,
“Hita” yang berarti kebahagiaan
dan “Karana” yang berarti penyebab.
Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan”. Tri Hita Karana ini
terdiri dari:
1.
Parahyangan,
yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini
berkaitan dengan agama, kepercayaan dan keyakinan manusia dengan Tuhannya.
2.
Pawongan,
yaitu hubungan yang harmonis antar sesama mahkluk hidup. Dalam hal ini
berkaitan dengan bagaimana seharusnya manusia hidup bermasyarakat. Karena
manusia sebagai mahkluk individu, manusia juga adalah mahkluk sosial. Manuisa
tidak dapat hidup sendiri, mereka pasti akan membutuhkan manusia lainnya untuk
hidup.
3.
Palemahan,
yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dan alam lingkungannya. Palemahan
inilah yang berkaitan dengan topik diatas. Bagaimana manusia yang sangat
tergantung dengan alam ini mempergunakan berbagai sumber alam tanpa merusak dan
menyakiti alam.
Kehidupan
beragama begitu semarak, pun demikian dengan kehidupan ekonomi dan soaial
masyarakat. Tingkat perekonomian yang semakin maju yang dibarengi dengan
tinginya tingkat pembangunan perumahan dan infrastruktur ternyata makin membuat
kerusakan alam Bumi semakin menjadi – jadi. Namun tampaknya usaha untuk menjaga
, memelihara dan melestarikan alam cenderung seperti terlupakan. Palemahan
dalam Tri Hita Karana terkesan sebatas ucapan manis di mulut tanpa aplikasi
nyata dalam kehidupan. Maka mungkin wajarlah apabila timbul begitu banyak musibah
longsor dan banjir akhir – akhir ini. Karena semua kejadian tersebut adalah
akibat dari akumulasi ketidakpedulian kita terhadap alam dan lingkungan.
Namun
jangan berpikir bahwa untuk dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga dan
melestarikan bumi adalah hal yang sulit. Sesuatu yang besar yang harus
dilakukan dalam upaya menjaga dan melesatarikan alam atau Bumi ini. Namun sesuatu
yang besar diawali oleh sesuatu yang kecil. Tidak usah yang terlalu muluk –
muluk, berpikir untuk mampu menghentikan pembangunan, pertambangan ataupun
penebangan hutan. Karena mungkin untuk hal itu tidak semua orang mampu
melakukannya. Karena untuk hal tersebut mungkin harus ada sinergi dan ketegasan
dari para pihak yang terkait dengan hal tersebut.
Tapi
semua orang dapat memulainya dari pribadi atau diri sendiri. Dari hal – hal
yang terkecil dan sederhana, dari kamar, rumah, lingkungan tempat tinggal,
lingkungan kerja dan daerah asal. Awali dengan usaha untuk senantiasa berusaha
menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya. Memilah sampah sesuai
jenisnya, organik, non organik atau recycle. Hal tersebut adalah hal paling
sederhana dan mudah untuk dilakukan oleh semua orang. Menjaga selokan dan
saluran air atau drainase agar senantiasa bersih, bebas dari sampah, akan mengurangi
resiko banjir. Hal inilah yang merupakan wujud nyata dari pelaksanaan Bumi Puja,
pemujaan dan penghormatan kepada Bumi.
Kesadaran
akan betapa pentingnya pengelolaan sampah harus ditanamkan dari sejak dini
kepada anak – anak. Kesadaran bahwa setiap sampah yang dibuang sembarangan akan
membawa akibat yang buruk bagi alam atau Bumi di masa – masa yang akan datang. Setiap
anak harus diajarkan kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Jika semua ini
dimulai sejak dini, pastilah nanti akan menjadi suatu kebiasaan yang baik. Semua
orang wajib menjaga kebersihan sungai – sungai, saluran air, selokan maupun
gorong – gorong. Menghormati dan menyayangi Bumi, sama nilainya dengan
menghormati dan menyayangi Ibu kandung sendiri. Karena Bumi adalah Ibu, Ibu
yang memelihara dan menopang semua mahkluk hidup. Dan ketika nafas sudah tidak
ada lagi, tubuh inipun akan kembali ke pangkuan-Nya, pangkuan Ibu Pertiwi.
Om pertiwi
sariram dewi
Catur
dewi mahadewi
Catur
asrame bathari
Siwa
bumi mahadewi.
Ya Tuhan, dalam manifestasi-Mu sebagai Dewi
Pertiwi
Dewi utama dari empat dewi
Yang dipuja dalam keempat tahapan kehidupan
Engkau adalah Siwa Bumi Mahadewi.
Om
Shantih Shantih Shantih Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar