Saya pergi ke sebuah minimarket
di dekat rumah untuk membeli beras dan beberapa keperluan lainya. Di kasir
tampak antrean agak panjang, maklum saja mini market yang tergolong agak besar
dan ramai ini hanya menyediakan dua buah komputer di kasir pembayaran dan komputer itupun hanya dioperasikan satu saja oleh satu orang petugas saja.
Saya pun berdiri dalam antrean
tepat dibelakang seorang ibu dan anaknya yang ternyata warga negara asing,
Jepang. Dia sempat menoleh ke arah saya, mungkin ingin melihat seberapa
panjangkah antrean dibelakangnya. Dia tersenyum ramah sambil memegang barang
belanjaanya.
Namun raut mukanya tiba - tiba
berubah tatkala ada seorang remaja tanggung datang dan nyelonong masuk, langsung
ke barisan depan antrean. Remaja tanggung itu mau membeli rokok, dan mungkin
karena ia merasa ia tak akan menyita waktu banyak maka ia pun menyerobot
antrean.
“Rokok satu mas!” pinta remaja tanggung tersebut
kepada kasir.
Petugas kasir itupun mungkin
berpikir bahwa hanya untuk sekadar melayani pembelian rokok, tidak akan menyita
waktu banyak, maka ia pun membiarkan remaja tanggung tersebut menyerobot
antrean. Ia pun mengambilkan rokok dan memberikannya kepada remaja tanggung
tersebut. Setelah membayar pemuda itupun kemudian berlalu. Namun antrean masih cukup
panjang dan pemuda tersebut sudah beruntung bisa mendahului yang antre lebih
dulu. Namun saya dapat melihat rasa tidak senang dari raut wajah ibu warga negara jepang ini. Karena
saya tahu bahwa budaya dan kesadaran antre dari masyarakat jepang sangatlah tinggi.
Ketika tiba giliran si ibu warga negara Jepang ini untuk
dilayani, lagi - lagi seorang bapak - bapak menyerobot mendahului untuk membeli
rokok.
“Mas minta rokok yang itu, sama koreknya”, kata si bapak itu sambil
menunjuk rokok yang ia inginkan.
Dan mungkin masih dengan
pemikiran yang sama, bahwa hal tersebut tidak akan menyita waktu banyak dan
yang lain pasti memaklumi, maka petugas kasir itupun melayani si bapak - bapak
tadi. Namun kali ini tampaknya si ibu warga negara jepang ini mulai kesal dan
geleng - geleng kepala. Namun mungkin karena menyadari bahwa ini bukanlah
negaranya maka si ibu itu diam saja.
“Kenapa lama sekali ibu”, tanya si anak kepada sang ibu, dengan
nada yang mulai bosan.
“Semua orang harus antre nak, sabar ya, tidak boleh nakal”, jawab
sang ibu dengan bahasa Indonesia yang ternyata fasih.
Ternyata ibu dan si anak warga
negara Jepang ini fasih berbahasa Indonesia. Ketika saya perhatikan ternyata sang suami adalah orang Bali. Namun
yang menjadi perhatian saya yang bukanlah kefasihan si ibu dan anak itu dalam
berbahasa Indonesia, bukan pula ternyata bahwa suaminya warga Bali, namun
tentang budaya dan kesadaran antre dari masyarakat kita.
Saya yang berada di antrean tepat
dibelakang mereka merasa tidak enak hati melihat kesadaran dan budaya antre
dari masyarakat kita yang masih sangat rendah. Kita masyarakat Bali merasa
bangga karena kita dikenal dengan keramah - tamahan dan memiliki adat serta
budaya yang adi luhung. Namun melihat kejadian seperti ini, bahwasanya
kesadaran dan budaya antre kita ternyata sangat rendah membuat saya merasa agak
malu.
Antre berarti tertib dan sabar
menunggu giliran, mendahulukan mereka yang memang datang atau tiba duluan atau
mendahulukan kepentingan umum.Budaya dan kesadaran untuk antre ini adalah
sebuah cerminan yang menunjukan watak, disiplin
dan perilaku dari seseorang yang secara keseluruhan juga mencerminkan seperti
apa watak dan perilaku suatu bangsa. Kesadaran untuk antre juga menunjukan
tingkat dan kualitas edukasi dari seseorang dan suatu bangsa.
Salah satu paman saya kebetulan
menikah dan berdomisili di Jepang, sudah hampir 20 tahun ia tinggal disana. Dan
ia sering menceritakan kepada saya bagaimana disiplinnya warga negara disana
termasuk dalam hal antre. Dia pun menceritakan sebuah contoh nyata yang
menggambarkan bagaimana tingginya kesadaran warga negara Jepang dalam hal
antre.
Ketika tejadinya bencana gempa
dasyat di Jepang, 11 maret 2011, yang memakan ribuan korban jiwa dan meluluh
lantakan kota Fukushima dan sekitarnya. Berbagai bantuan pun datang dari
seluruh penjuru dunia, seperti obat-obatan ataupun makanan. Namun hal menarik
yang terjadi saat itu adalah bagaimana budaya antre yang diterapkan masayarakat
Jepang dalam pengambilan jatah makanan
meskipun dalam kondisi bencana. Semua warga tertib dalam barisan, tidak
merebut, meskipun sejatinya mereka semua dalam keadaan kelaparan pasca bencana.
Tidak ada pembatas, tidak ada petugas khusus pengatur antrian. Hanya kesadaran
dari diri masing-masing untuk tertib dan teratur menunggu giliran .
Bandingkan dengan apa yang
terjadi di negara kita Indonesia, saat pembagian jatah sembako ataupun
pembagian bantuan lainya. Warga berebut saling mendahului, saling dorong, terinjak
- injak bahkan sampai jatuh korban jiwa. Padahal sudah dibangun pembatas
antrean dan ada petugas yang mengatur, namun dengan rendahnya kesadaran dan budaya antre ini, ketertiban sangat sulit
tercipta.
Indonesia dikenal sebagai negara
yang beragama, dimana mayoritas adalah Islam kemudia Kristen, Katolik, Hindu
dan Budha. Kehidupan beragama begitu semarak di Indonesia, begitupun halnya
dengan di Bali. Di Bali dengan mayoritas penduduk beragama Hindu dengan
berbagai ritual, adat dan budaya yang begitu indah, kehidupan masyarakatnya
sangat kental dengan nilai religi dan spiritual. Jangan sampai kita yang
tinggal di pulau yang memiliki vibrasi spiritual yang tinggi ini dikenal oleh dunia sebagai daerah yang mempunyai
kesadaran dan budaya antre yang rendah.
Antre adalah hal yang sederhana
untuk dilakukan namun dibutuhkan kesadaran dan disiplin dalam melaksanakannya. Diperlukan
pendidikan dan pemahaman sejak dini tentang apa itu antre , karena budaya antre
juga termasuk pendidikan nilai - nilai kemanusiaan. Nilai - nilai ketertiban,
disiplin dan mendahulukan kepentingan umum. Budaya dan perilaku antre adalah
salah satu cerminan dari watak suatu bangsa. Bangsa yang senantiasa menerapkan
budaya antre adalah bangsa yang berbudaya dan bermartabat. Mari
kita semua budayakan antre!!!
............................................
(Ganapatyananda)
............................................
(Ganapatyananda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar