Dalam sastra Adi Parwa
diceritakanlah ada seorang Brahmana yang bernama Bhagawan Animandawya, beliau
melaksanakan tapa dengan tidak berbicara atau monobrata. Pada suatu hari, ada
seorang pencuri yang datang ke pertapaan beliau dan menyembunyikan hasil
curiannya disana. Datanglah para prajurit kerajaan mengejar pencuri tersebut.
Pimpinan prajurit tersebut kemudian menanyakan keberadaan pencuri tersebut
kepada Bhagawan Animandawya. Karena sedang melaksanakan tapa monobrata atau
tapa tidak berbicara, sang Brahmana tidak menjawab dan hanya diam.
Akhirnya
si pencuri ditemukan sedang bersembunyi di bawah kolong balai tempat Bhagawan
Animandawya duduk bermeditasi. Si pencuri akhirnya ditangkap dan diikat untuk
selanjutnya diserahkan kepada sang raja. Si pencuri yang jahat tersebut
akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh raja, sedangkan sang Brahmana, ditusuk dari
pantat(anus) tembus ke kepala beliau. Sang Brahmana dianggap ikut serta dalam
pencurian serta melindungi si pencuri. Namun sang Brahmana tidak mati, karena
kemampuan yoga dan kesaktian yang beliau miliki.
Hal
ini didengar oleh para Brahmarsi lainnya, dan memutuskan untuk datang ke
pertapaan Sang Animandawya. Para Brahmarsi itupun bertanya apa sebab dan
kesalahan Sang Animandawya hingga ditusuk. Kebetulan saat itu Sang Animandawya
telah menyelesaikan tapa monobratanya. Beliau kemudian menceritakan kejadian
yang beliau alami. Sang Animandawya mengatakan bahwa beliau tiada bersalah
serta tidak mengetahui tentang kedatangan dari si pencuri, karena sedang
melakukan tapa monobrata.
Para
Brahmarsi itu menjadi marah, kemudian mendatangi sang raja dan mengatakan bahwa
sang raja telah melakukan tindakan yang keliru dengan menjatuhkan hukuman kepada
Sang Animandawya. Kemudian para Brahmarsi itu berusaha menarik penusuk yang
digunakan menusuk anus sang Brahmana. Namun ternyata tidak dapat ditarik, hanya
ujung dari penusuk tersebut yang mampu dipatahkan, sedangkan sisanya masih
menancap di tubuh sang Brahmana.
Para
Brahmarsi tersebut akhirnya memutuskan untuk pergi ke kediaman Dewa Yama.
Kepada Dewa Yama, para Brahmarsi tersebut menanyakan sebab dari penderitaan
yang dialami Sang Animandawya. Dewa Yama menjawab, "dalam penjelmaan Sang Animandawia sebelumnya, sewaktu masih
anak-anak, beliau pernah menusuk pantat seekor capung dengan daun ilalang. Dosa
dari perbuatan itulah yang beliau dapatkan sekarang, itu adalah karmapala
perbuatannya yang ia terima. Itulah sebabnya mengapa pantat(anus) beliau
sekarang juga kena tusuk".
Demikianlah
jawaban dari Dewa Yama, mendengar jawaban dari Dewa Yama, para Brahmarsi itupun
berkata, "oh Dewa Yama, kecil sekali
dosa yang diperbuat oleh Sang Animandawya dalam penjelmaannya yang terdahulu
saat masih anak-anak. Berat sekali hukuman yang engkau berikan kepada seorang
anak yang masih belum layak menerima hukuman. Anak tersebut belum paham betul
mana yang baik dan yang buruk, Engkau telah memberikan hukuman kepada orang
yang tidak layak mendapat hukuman".
Berkata
demikian para Brahmarsi itupun mengutuk agar Dewa Yama terlahir sebagai manusia
yang memiliki ibu dari warna sudra dan terlahir dengan kaki pincang. Setelah
mengutuk Dewa Yama, para Brahmarsi itu kembali ke pertapaan Sang Animandawia.
Para Brahmarsi itu kemudian melantunkan mantra-mantra suci Weda penghancur
segala dosa dan derita. Terlepas dan keluarlah benda yang dipakai menusuk Sang Animandawya, mental melalui ubun-ubun
beliau, tanpa meninggalkan bekas luka sedikitpun, sembuh seperti sedia kala.
Pada
akhirnya dituangkanlah sebuah aturan dalam sastra agama mengenai batas umur
seorang anak yang boleh dan yang belum boleh dijatuhi hukuman. Aturan ini
kemudian diikuti dan disetujui oleh Dewa Brahma.
"Yad
ikang rare magawe dosa ri padbelas tahun wayahnia, yogya tibana danda. Yan
turung sangkeng padbelas tahun, tan tibana danda, ya ta panemu papa sang
anibani danda".
(Adi
Parwa)
"Jika
anak-anak yang telah berumur 14 tahun berbuat kesalahan atau dosa, maka mereka
boleh dijatuhi hukuman yang setimpal. Namun jika mereka belum berumur atau
kurang dari 14 tahun maka mereka tidak layak atau tidak boleh mendapatkan
hukuman. Barangsiapa yang menjatuhkan hukuman pada anak yang masih dibawah usia
14 tahun, maka dialah yang akan mendapatkan dosa(papa)"
Demikian
kutipan cerita yang diambil dari sastra Adi Parwa, dimana pada akhirnya Dewa
Yama lah yang harus menerima hukuman dengan dikutuk untuk terlahir sebagai
manusia, karena telah memberikan hukuman kepada Bhagawan Animandawia, padahal
kesalahan yang dilakukan oleh Bhagawan Animandawia dilakukannya saat masih
anak-anak dalam kehidupan beliau yang sebelumnya.
Dari
apa yng dituangkan dalam cerita sastra suci tersebut, dapatlah diketahui mengenai
umur berapa seorang anak telah pantas dan layak untuk mendapatkan hukuman yang
setimpal atas dosa atau kesalahannya dan umur berapa seorang anak dianggap
belum pantas dana layak menerima hukuman.
Seorang
anak yang belum mencapai usia 14 tahun dianggap masih dibawah umur. Anak yang
masih dibawah umur dianggap belum sepenuhnya paham dan memahami nilai-nilai
kebenaran, belum memahami sepenuhnya hala-ayu,
baik atau buruk, sehingga dikatakan belum layak menerima hukuman. Berbeda
halnya dengan anak yang telah mencapai umur atau lebih dari 14 tahun, mereka
dianggap telah memahami nilai-nilai moral, etika, norma agama serta mengerti kebaikan
dan keburukan, sehingga jika mereka melakukan sebuah perbuatan jahat atau
kesalahan mereka wajib dan boleh dijatuhi hukuman yang setimpal.
Aturan
atau tata krama pemberian hukuman pada anak sejatinya telah dikenal sejak jaman
dahulu. Walaupun ada sedikit perbedaan dengan hukum yang diterapkan di era
modern ini. Menurut sastra, yang dianggap masih dibawah umur yang belum boleh
dijatuhi hukuman adalah mereka yang masih dibawah usia 14 tahun, sedangkan menurut
perundang-undangan yang berlaku, ambang batas usia seorang anak yang bisa
dimintai pertanggung jawaban pidana adalah 12 tahun. Namun pada intinya baik
aturan dalam sastra ataupun perundang-undangan yang berlaku,mengenai
ketententuan anak dibawah umur bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
anak. Anak adalah masa depan suatu bangsa, perjalanan mereka masih sangat
panjang, jangan sampai kesalahan kecil mereka dijadikan alasan menjatuhkan
sebuah hukuman yang pada akhirnya merusak masa depan mereka dan masa depan
bangsa. Itulah mengapa dalam pemberian sangsi atas kesalahan yang dilakukan
seorang anak, cenderung berupa upaya-upaya perbaikan karakter. Dalam perundang-undangan
pun, seorang anak yang bermasalah hukum, akan mendapatkan berbagai perlakuan
khusus, berbeda dengan mereka yang telah dewasa.
Anak
adalah cerminan dari orang tuanya, karakternya dibentuk oleh apa yang mereka
lihat pada orang tua, lingkungan dan pendidikannya. Maka adalah tanggung jawab
orang tua dan semua orang jika seorang anak sampai berbuat dosa dan kesalahan. Inilah
salah satu sebab mengapa sastra mengatakan bahwa seorang anak yang masih
dibawah umur belum boleh dijatuhi hukuman. Sejatinya ada tanggung jawab orang
tua, pendidik, dan orang lain didalam dosa yang diperbuat seorang anak, maka
menjadi tanggung jawab orang tua, pendidik dan semua orang untuk membentuk dan
memperbaiki karakter anak-anak yang terlanjur berbuat kesalahan.
(Ganapatyananda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar