Rabu, 01 Februari 2017

Usia Anak Yang Belum Boleh Dijatuhi Hukuman Dalam Sastra Hindu



                  
Dalam sastra Adi Parwa diceritakanlah ada seorang Brahmana yang bernama Bhagawan Animandawya, beliau melaksanakan tapa dengan tidak berbicara atau monobrata. Pada suatu hari, ada seorang pencuri yang datang ke pertapaan beliau dan menyembunyikan hasil curiannya disana. Datanglah para prajurit kerajaan mengejar pencuri tersebut. Pimpinan prajurit tersebut kemudian menanyakan keberadaan pencuri tersebut kepada Bhagawan Animandawya. Karena sedang melaksanakan tapa monobrata atau tapa tidak berbicara, sang Brahmana tidak menjawab dan hanya diam.

                Akhirnya si pencuri ditemukan sedang bersembunyi di bawah kolong balai tempat Bhagawan Animandawya duduk bermeditasi. Si pencuri akhirnya ditangkap dan diikat untuk selanjutnya diserahkan kepada sang raja. Si pencuri yang jahat tersebut akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh raja, sedangkan sang Brahmana, ditusuk dari pantat(anus) tembus ke kepala beliau. Sang Brahmana dianggap ikut serta dalam pencurian serta melindungi si pencuri. Namun sang Brahmana tidak mati, karena kemampuan yoga dan kesaktian yang beliau miliki.


                Hal ini didengar oleh para Brahmarsi lainnya, dan memutuskan untuk datang ke pertapaan Sang Animandawya. Para Brahmarsi itupun bertanya apa sebab dan kesalahan Sang Animandawya hingga ditusuk. Kebetulan saat itu Sang Animandawya telah menyelesaikan tapa monobratanya. Beliau kemudian menceritakan kejadian yang beliau alami. Sang Animandawya mengatakan bahwa beliau tiada bersalah serta tidak mengetahui tentang kedatangan dari si pencuri, karena sedang melakukan tapa monobrata.

                Para Brahmarsi itu menjadi marah, kemudian mendatangi sang raja dan mengatakan bahwa sang raja telah melakukan tindakan yang keliru dengan menjatuhkan hukuman kepada Sang Animandawya. Kemudian para Brahmarsi itu berusaha menarik penusuk yang digunakan menusuk anus sang Brahmana. Namun ternyata tidak dapat ditarik, hanya ujung dari penusuk tersebut yang mampu dipatahkan, sedangkan sisanya masih menancap di tubuh sang Brahmana.

                Para Brahmarsi tersebut akhirnya memutuskan untuk pergi ke kediaman Dewa Yama. Kepada Dewa Yama, para Brahmarsi tersebut menanyakan sebab dari penderitaan yang dialami Sang Animandawya. Dewa Yama menjawab, "dalam penjelmaan Sang Animandawia sebelumnya, sewaktu masih anak-anak, beliau pernah menusuk pantat seekor capung dengan daun ilalang. Dosa dari perbuatan itulah yang beliau dapatkan sekarang, itu adalah karmapala perbuatannya yang ia terima. Itulah sebabnya mengapa pantat(anus) beliau sekarang juga kena tusuk".

                Demikianlah jawaban dari Dewa Yama, mendengar jawaban dari Dewa Yama, para Brahmarsi itupun berkata, "oh Dewa Yama, kecil sekali dosa yang diperbuat oleh Sang Animandawya dalam penjelmaannya yang terdahulu saat masih anak-anak. Berat sekali hukuman yang engkau berikan kepada seorang anak yang masih belum layak menerima hukuman. Anak tersebut belum paham betul mana yang baik dan yang buruk, Engkau telah memberikan hukuman kepada orang yang tidak layak mendapat hukuman". 

                Berkata demikian para Brahmarsi itupun mengutuk agar Dewa Yama terlahir sebagai manusia yang memiliki ibu dari warna sudra dan terlahir dengan kaki pincang. Setelah mengutuk Dewa Yama, para Brahmarsi itu kembali ke pertapaan Sang Animandawia. Para Brahmarsi itu kemudian melantunkan mantra-mantra suci Weda penghancur segala dosa dan derita. Terlepas dan keluarlah benda yang dipakai menusuk  Sang Animandawya, mental melalui ubun-ubun beliau, tanpa meninggalkan bekas luka sedikitpun, sembuh seperti sedia kala.

                Pada akhirnya dituangkanlah sebuah aturan dalam sastra agama mengenai batas umur seorang anak yang boleh dan yang belum boleh dijatuhi hukuman. Aturan ini kemudian diikuti dan disetujui oleh Dewa Brahma.
"Yad ikang rare magawe dosa ri padbelas tahun wayahnia, yogya tibana danda. Yan turung sangkeng padbelas tahun, tan tibana danda, ya ta panemu papa sang anibani danda".
(Adi Parwa)

"Jika anak-anak yang telah berumur 14 tahun berbuat kesalahan atau dosa, maka mereka boleh dijatuhi hukuman yang setimpal. Namun jika mereka belum berumur atau kurang dari 14 tahun maka mereka tidak layak atau tidak boleh mendapatkan hukuman. Barangsiapa yang menjatuhkan hukuman pada anak yang masih dibawah usia 14 tahun, maka dialah yang akan mendapatkan dosa(papa)"

                Demikian kutipan cerita yang diambil dari sastra Adi Parwa, dimana pada akhirnya Dewa Yama lah yang harus menerima hukuman dengan dikutuk untuk terlahir sebagai manusia, karena telah memberikan hukuman kepada Bhagawan Animandawia, padahal kesalahan yang dilakukan oleh Bhagawan Animandawia dilakukannya saat masih anak-anak dalam kehidupan beliau yang sebelumnya.

                Dari apa yng dituangkan dalam cerita sastra suci tersebut, dapatlah diketahui mengenai umur berapa seorang anak telah pantas dan layak untuk mendapatkan hukuman yang setimpal atas dosa atau kesalahannya dan umur berapa seorang anak dianggap belum pantas dana layak menerima hukuman.

                Seorang anak yang belum mencapai usia 14 tahun dianggap masih dibawah umur. Anak yang masih dibawah umur dianggap belum sepenuhnya paham dan memahami nilai-nilai kebenaran, belum memahami sepenuhnya hala-ayu, baik atau buruk, sehingga dikatakan belum layak menerima hukuman. Berbeda halnya dengan anak yang telah mencapai umur atau lebih dari 14 tahun, mereka dianggap telah memahami nilai-nilai moral, etika, norma agama serta mengerti kebaikan dan keburukan, sehingga jika mereka melakukan sebuah perbuatan jahat atau kesalahan mereka wajib dan boleh dijatuhi hukuman yang setimpal. 

                Aturan atau tata krama pemberian hukuman pada anak sejatinya telah dikenal sejak jaman dahulu. Walaupun ada sedikit perbedaan dengan hukum yang diterapkan di era modern ini. Menurut sastra, yang dianggap masih dibawah umur yang belum boleh dijatuhi hukuman adalah mereka yang masih dibawah usia 14 tahun, sedangkan menurut perundang-undangan yang berlaku, ambang batas usia seorang anak yang bisa dimintai pertanggung jawaban pidana adalah 12 tahun. Namun pada intinya baik aturan dalam sastra ataupun perundang-undangan yang berlaku,mengenai ketententuan anak dibawah umur bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anak. Anak adalah masa depan suatu bangsa, perjalanan mereka masih sangat panjang, jangan sampai kesalahan kecil mereka dijadikan alasan menjatuhkan sebuah hukuman yang pada akhirnya merusak masa depan mereka dan masa depan bangsa. Itulah mengapa dalam pemberian sangsi atas kesalahan yang dilakukan seorang anak, cenderung berupa upaya-upaya perbaikan karakter. Dalam perundang-undangan pun, seorang anak yang bermasalah hukum, akan mendapatkan berbagai perlakuan khusus, berbeda dengan mereka yang telah dewasa.

                Anak adalah cerminan dari orang tuanya, karakternya dibentuk oleh apa yang mereka lihat pada orang tua, lingkungan dan pendidikannya. Maka adalah tanggung jawab orang tua dan semua orang jika seorang anak sampai berbuat dosa dan kesalahan. Inilah salah satu sebab mengapa sastra mengatakan bahwa seorang anak yang masih dibawah umur belum boleh dijatuhi hukuman. Sejatinya ada tanggung jawab orang tua, pendidik, dan orang lain didalam dosa yang diperbuat seorang anak, maka menjadi tanggung jawab orang tua, pendidik dan semua orang untuk membentuk dan memperbaiki karakter anak-anak yang terlanjur berbuat kesalahan.

(Ganapatyananda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar