
Anjing tersebut kemudian
lari sambil menangis kesakitan. Anjing tersebut kemudian menceritakan hal yang
ia alami kepada Ibunya. Ternyata ibu dari anjing yang bernama Sarameya ini adalah
sang Sarama, istri dari Bhagawan Pulaha.
Sedih dan terpukul hati sang Sarama mengetahui bahwa anak beliau dipukul
tanpa dosa. Oleh karenanya beliau kemudian pergi ke Kuruksetra, tempat dimana upacara
yadnya itu berlangsung. Setibanya di tempat dimana Maharaja Janamejaya
menggelar upacara yadnya tersebut, beliau kemudian bersabda dan memberikan
kutukan.
"Hai
Maharaja Janamejaya, Sarameya adalah putraku, ia sangat santun, ia tahu bahwa
dirinya kotor, ia tidak menginginkan persembahan dan sesajenmu, apalagi sampai
menjilatinya. Sejatinya ia hanya ingin menyaksikan dari kejauhan upacara
yadnyamu, tapi ia dipukul padahal perbuatannya tiada dosa, oleh sebab itu akan
ada bencana besar yang akan engkau dapatkan di kemudian hari, karena memukul yang tak sepatutnya dipukul".
Demikian kutukan sang
Sarama kepada Maharaja Janamejaya. Setelah berkata demikian sang Sarama
kemudian lenyap menghilang dari pandangan. Mendengar kutukan ini Maharaja
Janamejaya menjadi sangat sedih dan bingung, tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Beliau tidak menyangka bahwa dirinya akan dikutuk oleh Bhatari
Sarama. Akhirnya Maharaja Janamejaya memutuskan untuk menyudahi ritual upacara yadnya
tersebut.
Demikian sekilas cerita
yang dikutip dari Adi Parwa, yang banyak dipakai acuan agar mereka yang
menggelar upacara yadnya tidak sembarangan memukul anjing yang seringkali
datang ke tempat upacara yadnya berlangsung.
Berbagai jenis makanan
dan sesajen, sudah barang tentu mengundang anjing-anjing untuk datang demi
untuk mendapatkan makanan. Seringkali anjing-anjing ini berebut dan berkelahi
diantara mereka dan tak jarang menyebabkan sedikit kekacauan di tempat upacara
yadnya berlangsung. Melihat hal seperti ini banyak dari akan menjadi marah dan
akan segera mengambil tindakan dengan mengambil kayu kemudian memukul
anjing-anjing tersebut. Namun seringkali walaupun sudah dipukul dan diusir
berkali-kali, anjing-anjing itu akan kembali lagi dan kembali membuat gaduh,
inilah wujud "gegodan" kecil dalam pelaksanaan upacara yadnya.
Dalam situasi seperti
inilah sejatinya kesabaran kita diuji, untuk tidak sembarangan memukul
anjing-anjing tersebut. Tentu anjing-anjing tersebut harus diusir, agar tidak
mengganggu, namun tentu ada cara lain, cara yang lebih baik daripada memukul
mereka. Lebih baik mengusir mereka dengan cara sekadar menggertak, namun tidak
menyakiti, atau mungkin menyediakan tempat di luar tempat upacara dimana
anjing-anjing ini bisa diberi makanan, agar tidak mengganggu dan lalu lalang di
tempat upacara berlangsung.
Memberikan makanan pada
anjing-anjing ini adalah salah satu wujud Bhuta yadnya atau pemberian bagi
mahkluk bawah, guna mendamaikan mereka. Sama halnya dengan para bhuta, jika
anjing-anjing tersebut, tidak ditangani dengan baik, mungkin bisa menjadi suatu
hal yang mengganggu atau "gegodan". Oleh sebab itulah selain bakti
dan ketulusan dalam beryadnya, kesabaran serta ketenangan juga merupakan sebuah
hal penting yang harus dimiliki oleh mereka yang menggelar upacara yadnya.
Harus diketahui bahwa "gegodan" bisa mengambil wujud apapun, guna
menghalangi keberhasilan upacara yadnya yang sedang dilaksanakan. Jadi jangan
biarkan hal kecil menjadi sebuah penyebab gagalnya upacara yadnya yang
dilaksanakan.
Disamping itu pula,
apabila diselami lebih dalam makna dari yadnya, maka akan dipahami bahwa segala
bentuk upacara yadnya bertujuan untuk mendamaikan ketiga dunia, Bhur Bwah Swaha, serta segala isinya,
termasuk para binatang. Maka siapapun yang melangsungkan ritual upacara yadnya,
jika ingin yadnya yang dilakukan berhasil tanpa halangan, hendaknya menghindari
perbuatan-perbuatan yang mungkin menyakiti mahkluk lain, apalagi mahkluk yang
tak berdosa.
(Ganapatyananda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar